Oleh Tgk H
Faisal Ali
Wakil Ketua MPU Aceh
Abu Dzar Al-Ghifari, berkata kepada Nabi SAW, "Ya
Rasulullah, berwasiatlah kepadaku." Lalu Rasulullah bersabda, "Aku
wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah dasar segala
urusan.”
Wasiat Rasulullah SAW
tersebut berlandaskan kepada firman Allah SWT:
“Orang-orang yang beriman dan selalu
bertakwa, bagi mereka berita gembira di
dalam kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Yang demikian itu
adalah kemenangan yang besar.”
Bila manusia senantiasa membekali diri
dengan taqwa kepada Allah, maka ia akan senantiasa dapat memelihara dirinya
dari segala macam perbuatan tercela dan menyimpang, yang dapat mencelakakan
dirinya dan orang lain. Orang bertaqwa tidak akan mudah terbujuk dan terjerat
rayuan dan godaan setan, serta tidak akan mudah terpengaruh oleh kerusakan
zaman. Tidak mudah terlena dengan
gemerlap dan kemewahan dunia.
Orang yang bertaqwa akan senantiasa
mengisi lembaran-lembaran hidupnya dengan hal-hal yang bermanfaat. Tipe orang
taqwa adalah tipe orang sederhana dalam hidupnya, gemar melakukan amal saleh
dan hatinya tidak terpisah dengan rumah
Allah yang sangat mulia dimanapun dia berada. Mereka sadar, bahwa segala apa
yang dianugerahkan oleh Allah tidak akan
membawa manfaat, bila segala sesuatu yang ia miliki itu, baik ilmu, harta,
pangkat bahkan ibadah yang dijalankan
tidak dilandasi ketaqwaaan kepada Allah SWT.
“Sesungguhnya yang paling mulia disisi
Allah adalah orang yang paling tinggi nilai ketakwaannya.”
Semua teori terbukti gagal dalam mewujudkan kedamaian dan
kebahagiaan bagi umat manusia. Dunia tidak bisa meraih kemuliaan dan
kebahagiaan kecuali dengan Islam.
“Allah SWT telah berjanji
kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh di antara kalian bahwa Dia
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi.” (QS An-Nur: 55).
Allah SWT memberikan pertolongan kepada orang yang bertaqwa, bukan hanya ada kemudahan
dalam urusan kehidupannya, tetapi juga memberikan perlindungan di hari yang
keberadaan matahari sangat dekat di atas kepala.
“Kami pasti menolong para rasul
Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari
berdirinya qiamat” (QS Ghafir: 51)
Shalat
Islam diturunkan untuk membentuk manusia
yang sadar akan jati dirinya sebagai seorang hamba sekaligus sebagai agama yang
menjamin kemaslahatan hidup manusia itu sendiri. Kualitas keimanan dalam Islam
selalu dikaitkan dengan amal seleh. Memakmurkan masjid bahagian dari amal saleh yang dilekatkan
dengan simbol-simbol kemegahan dan ketakwaan yang dapat mencegah perbuatan keji
dan mungkar serta menjadi spirit
kesetaraan antara sesama manusia.
Filosofi shalat Jumat sekiranya
diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan,
insya Allah, kita akan makmur dan memperoleh kembali kehormatan yang
terinjak. Ada tiga hal yang menjadi
tinjaun dalam pelaksanaan shalat Jumat. Pertama, adanya khatib yang menyampaikan pengajaran
yang dalam unsur pemerintahan adalah
ulama yang menyampaikan pertimbangan dan nasihat kepada pemimpin dan
masyarakat.
Kedua, adalah imam,
yang dalam struktur pemerintahan adalah pimpinan. Seorang pemimpin
haruslah peka dan sensitif terhadap keadaan makmum yang terdiri dari
berbagai kelompok. Khatib termasuk salah seorang yang mendoakan supaya terwujud
apa yang disampaikan oleh Gubernur Zaini Abdullah. Pesan gubernur kepada
pemimpin di seluruh Aceh supaya tidak bersikap sombong, angkuh dan berfoya-foya
di atas penderitaan rakyat. Pemimpin harus santun dan beretika serta bekerja
keras untuk meringankan beban masyarakat, bukan malah menambah beban masyarakat.
Ketiga, makmum yang di dalam kehidupan
lain adalah rakyat yang dituntut untuk senantiasa mendengar serta mangamalkan
tausiah ulama dan selain itu ada hal
penting yang tidak boleh diabaikan oleh rakyat yaitu harus
memberikan dukungan, doa dan menjaga
keterpaduan gerak dengan pemimpin. Gerakan dan bacaan shalat makmum tidak boleh
mendahului gerakan dan bacaan shalat imam. Filosofi ini semestinya tidak
terpisahkan dengan aktifitas keseharian
kita.
Masjid adalah “rumah Allah”, tempat umat
Islam menjalin pertalian ruhaniyah dengan Allah Swt dan masjid juga tempat
dimana umat Islam menjalin hubungan dengan sesama makhluk ciptaan-Nya, secara
lahir dan batin.merajut persaudaraan
sejati sebagai sesama hamba,sebagai makhluk yang paling dimuliakan-Nya.Persaudaran
sejati seperti ini adalah modal yang sangat kokoh untuk misi ke-khalifahan
manusia untuk memakmurkan bumi Allah
dengan mewujudkan kesejahteraan,kemajuan dan keadilan bagi semua.
Masjid
Masjid pada hakikat utamanya adalah sebuah tempat untuk manifestasi
ketundukan dan ketaatan seorang mukmin kepada Allah SWT. Dengan kata lain,
masjid merupakan ekspresi ibadah seorang muslim.
Manusia yang dinilai mempunyai kecerdasan emosi adalah yang mempunyai etika
berhubungan dengan orang lain, penghargaan terhadap nilai–nilai keindahan, jiwa
yang baik, pribadi yang sensitif, teratur, bersih dan ketajaman jiwa yang mampu
memahami satu kesalahan dan mampu mendeteksi
kapan itu terjadi.
Dalam Al-Quran terdapat dua perintah
memakmurkan. Memakmurkan masjid termasuk
menjadikan masjid sebagai sekolah untuk internalisasi nilai-nilai
kebaikan dan kebajikan serta ilmu pengetahuan.
Atas dasar ilmu pengetahuan inilah peradaban Islam tumbuh dan berkembang
serta memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap peradaban dunia.
“Sesungguhnya yang mau memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat dan menunaikan
zakat serta tidak takut kecuali kepada Allah, maka besar harapan mereka akan
menjadi orang-orang yang terbimbing. (QS. At-Taubah: 18).
Dalam ayat di atas, Allah menghubungkan keimanan dan
derajat ketinggian iman seseorang tergantung sejauh mana usahanya memakmurkan
masjid sebagai rumah Allah.
Untuk lebih memotivasi kita dalam memakmurkan masjid, menarik juga untuk
kita perhatikan hadits Rasulullah berikut ini: Dari Abî Umâmah, dari Nabi SAW bersabda, ”Siapapun berangkat menuju masjid
dan ia tidak menginginkan kecuali untuk belajar kebaikan atau mengetahui
kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala yang hajinya sempurna.” (HR
Al-Thabrânî)
Dan yang kedua adalah perintah memakmurkan
bumi sebagaimana Allah berfirman: “Dia (Allah) yang telah menciptakan kalian
dari bumi dan menuntut kalian memakmurkannya, lalu bermohonlah ampun kepada-Nya
dan kembalilah kepada-Nya, sungguh Tuhanku Mahadekat lagi Maha Mengabulkan
permohonan. (QS Hud: 61)
Memakmurkan masjid
Harga diri ummat Islam di satu negeri tercermin pada
sejauh mana kondisi dan keadaan serta kemakmuran masjidnya. Jika masjidnya
buruk atau bagus tapi kosong dari aktivitas maka buruk jugalah harga diri ummat
di negeri itu. Namun, jika masjidnya baik, rapi dan makmur, maka menjadi
tinggilah harga diri ummat di daerah itu. Umar bin Khattab RA dalam satu khutbahnya, menambahkan bahwa
ciri-ciri orang munafik adalah orang yang membangun rumah pribadinya lebih
besar dan lebih indah dari masjid di kampungnya.
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa membangun masjid,
maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah istana di surga.”
Konsep Islam atas pembentukan masyarakat itu dapat disebut sebagai konsep madanî,
yakni sebuah model yang merujuk bagaimana Rasulullah SAW membangun
kerangka masyarakat Madinah, masyarakat yang dibangun atas tiga landasan utama
yaitu: masyarakat yang berbasis masjid; berdasarkan persaudaran; dan masyarakat
yang diatur oleh hukum yaitu Piagam Madinah.
Agama yang kita pahami, bukanlah agama yang sekadar mengatur kehidupan
pribadi seorang manusia dengan Allah SWT. Namun kita meyakini bahwa Islam
sebagai sebuah entitas agama, adalah juga manhâj yang mengatur
hubungan antar sesama. Oleh sebab itu, selain untuk mengantarkan
individu muslim menjadi pribadi yang saleh, Islam juga memiliki konsep untuk
mengantarkan sebuah masyarakat yang saleh, baik itu secara material maupun
spiritual, jasmani ataupun rohani.
Yang perlu ada jawaban dari kita adalah: kenapa langkah pertama yang
dilakukan Rasulullah SAW saat membangun masyarakat Islam di Madinah adalah
memulainya dari masjid? Maka, jawabannya adalah karena masjid bukan hanya
berfungsi menciptakan kesalehan lahiriyah
saja tetapi masjid juga berfungsi sebagai tempat untuk mematikan virus-virus
kesombongan,keangkuhan dan keserakahan yang berakibat kepada hilangnya
kehormatan diri,keluarga dan agamanya.
Adalah sangat disayangkan, masih ada di kalangan umat Islam yang
menempatkan masjid sebagai elemen bagian dari kehidupan masyarakat, bukan
elemen utama dalam membangun masyarakat. Cara pandang seperti itu dikarenakan
adanya ideologi sekular yang menafikan peran agama dalam pembangunan
masyarakat. Padahal sejak awal kemunculannya, bahwa sebenarnya Islam merupakan
lebih dari sekadar suatu sistem teologi saja, Islam adalah suatu peradaban yang
komplit.
Seseorang yang memulai pekerjaannya dengan semangat
kemegahan masjid mampu menepis rasa takut untuk berbuat dan menghapus gentar
dalam menghadapi resiko hidup. Dipastikan hilangnya nilai kesakralan masjid
didalam sanubari seorang muslim akan
melahirkan fatalistis yang menyerahkan diri kepada nasib, atau bersikap
apatis dan pesimis. Keyakinan kesucian masjid menambah kekuatan besar berupa
energi rohaniah yang mampu mendorong manusia untuk hidup inovatif.
Rasulullah Saw bersabda: “Siapa mendatangi masjid
berarti dia menjadi tamu Allah.”
Melalui nilai-nilai spiritual masjid dapat kita bangun karakter yang kuat
yang didasarkan pada akhlak mulia dan senantiasa bertakwa kepada Allah SWT.
Karakter yang seperti itulah menjadi modal dasar dalam melaksanakan
pembangunan. Karena dengan jiwa yang didasari pada ketakwaan maka pembangunan
dapat berjalan dengan baik yang menghadirkan nilai kejujuran dan anti
pengkhianatan.
Dibalik pemikiran umat Islam khususnya
Aceh sekarang yang hanya terfokus pada pembangunan dan
keindahan fisik masjid semata tanpa
memikirkan langkah-langkah untuk memakmurkannya, muncul kekhawatiran, sejarah
kelam terkait perebutan dan pembumihangusan
masjid beberapa abad lalu di benua
Europa, tidak mustahil akan terjadi di daerah yang dijuluki dengan Serambi Mekkah ini. Oleh
karena itu, hendaknya kita kembali mengoreksi cara pandang kita terhadap Islam,
yang dengan cara itu niscaya kita dapat kembali menempatkan masjid seperti yang
telah difungsikan oleh Rasulullah dan generasi emas setelahnya.
”Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping menyembah Allah.”(Q.S.al-Jin.18).
Dengan semangat ketakwaan, marilah
kita bersama-sama menjadikan masjid
sebagai pintu utama untuk
melakukan perubahan dalam berbagai segmen kehidupan ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian mudah-mudahan Allah
memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita semua, memberikan jalan yang lurus
kepada kita semua serta menuntun kita dalam mewujudkan baldatun thayyibatun
wa rabbun ghafur. Wassalam.
.