Oleh: Ahmad
Faizuddin
Sebuah pesan WhatsApp masuk ke
handphone. Saya membalas singkat dengan “InsyaAllah”. Tak lama berselang, teks
berikutnya muncul, “Ya Akhi, jangan menulis ucapan tersebut dengan satu kata,
apalagi menyingkatnya. Karena maknanya berbeda dari kata yang sebenarnya.”
Benarkah?
Kalau
ditulis insya, maka asal katanya
adalah ansya-a yun-syi-u yang berarti
membangun atau membuat. Contohnya Insya’ dalam pelajaran bahasa Arab. Maka insya Allah dapat diartikan membuat Allah, na’uzubillah. Sementara jika ditulis terpisah, in artinya jika dan syaa bermakna menghendaki. Jadi dari sudut pandang
bahasa, penulisan in syaa Allah lebih
tepat dan biasa diterjemahkan dengan jika
Allah menghendaki.
Namun,
karena perbedaan huruf Hijaiyah dengan alfabet Latin serta tidak adanya pedoman
yang baku, maka transliterasi bahasa menjadi berbeda-beda. Di Indonesia kita
sering menulis Insya Allah karena
pengaruh bahasa Belanda. Padanan yang kita pakai untuk huruf syin (alphabet
ke 13 bahasa Arab) adalah sy.
Sementara di Malaysia, karena pengaruh bahasa Inggris, maka padanannya adalah sh sehingga menjadi Insha Allah.
Penekanan
ucapan dan bunyi huruf dalam bahasa Arab juga menjadikan transliterasi ke dalam
bahasa Indonesia berbeda-beda. Contohnya ada yang menuliskan Allah dan Alloh, shalat dan solat.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa kata Allah
bisa dituliskan dengan huruf kecil menjadi allah, karena dalam bahasa Arab tidak ada perbedaan huruf kapital.
Namun karena penghormatan kita kepada Dzat Yang Maha Agung, tentu menuliskannya
dengan huruf kapital lebih sesuai.
Kemudian
persoalan kata in dengan sya ditulis terpisah atau digabungkan sebenarnya tidak masalah. Alasan yang
pertama karena transliterasi bahasa Arab ke dalam tulisan Latin tidak mempunyai
konsekuensi syari’ah; alasan yang kedua adalah yang penting bagaimana kita
mengucapkan ungkapan tersebut dengan benar sesuai dengan kaidah asli dalam
bahasa Arab. Kalau kita salah mengucapkannya maka tentu artinya pun akan
berbeda; dan alasan yang ketiga, ada yang berpendapat bahwa tidak masalah
bagaimana penulisannya, yang penting adalah niat
kita.
Menurut
Penulis, hal-hal semacam ini tidak perlu kita perdebatkan karena tidak
menghasilkan amal yang nyata. Salah seorang dosen senior saya malah sering
membalas pesan dengan lebih singkat: iA. Tentunya yang beliau maksudkan in syaa Allah dan tidak mungkin yang
lainnya.
Kalau harus terpaku
dengan transliterasi bahasa yang ketat, maka akan sangat susah membuat
kata-kata lain seperti masya Allah ditulis
menjadi maa syaa Allah, Aisyah ditulis ‘Aa-isyah dan sebagainya. Karena ini menyangkut dengan persoalan bahasa dan bukan
keyakinan, maka boleh dianggap sebagai bentuk kemudahan. Allah SWT menghendaki
kemudahan dalam beragama (Q.S. Al-Baqarah: 185).
Daripada
memperdebat masalah ini, bukankah lebih baik kalau kita menjadikannya sebagai
bentuk tawakkal sebagaimana termaktub dalam Surat Al-Kahfi: Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan
terhadap sesuatu: ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, (Q.S. 18:23)
kecuali (dengan menyebut): ‘Insya Allah.’ Dan ingatlah kepada Rabbmu jika kamu
lupa dan katakanlah: ‘Mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang
lebih dekat kebenarannya daripada ini.’(Q.S. 18:24).
Ayat ini turun berkenaan
dengan pertanyaan orang Quraisy kepada Muhammad SAW tentang roh, ashabul kahfi
dan Zulkarnain. Nabi SAW menjawab, “Datanglah besok pagi kepadaku agar aku
ceritakan” tanpa mengucapkan Insya Allah. Dan menurut riwayat, wahyu terlambat turun
sampai 15 hari sehingga Nabi tidak dapat memberikan jawabannya (Tafsir Imam
Qurthubi, Juz 10). Ayat ini merupakan peringatan apabila kita berjanji maka
jangan lupa mengucapkan Insya Allah, jika Allah menghendaki.
Jumhur Ulama berpendapat
bahwa berjanji dengan tambahan ucapan Insya Allah adalah sunnah dan dianjurkan.
Janji adalah hutang. Maka tanpa alasan (uzur)
yang jelas, menyalahi janji termasuk perbuatan orang munafik. Mengucapkan itu
mudah namun konsekuensinya berat.
Sebagai
kesimpulan, tidak masalah bagaimana cara menuliskan ungkapan yang bermakna jika Allah menghendaki. Yang penting
adalah bagaimana kita mengucapkannya dengan benar sebagaimana kaidah asli dalam
bahasa Arab. Ketika kita mengucapkan ungkapan tersebut, tentu pemahaman dan
niat kita benar-benar tulus. Yang justru menjadi masalah adalah implementasinya
dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ada orang yang mengundang kita lalu kita
balas dengan In Syaa Allah, berapa
persen kira-kira komitmen kita untuk memenuhi undangan tersebut? Wallahu a’lam.