Senin, 23 Mei 2016

Nawa Sengsara atau Sembilan Musibah di Indonesia Versi Amien Rais

Banda Aceh (Gema) - Tanggal 21 Mei merupakan Peringatan  Hari Reformasi. Dimana  tanggal 21 Mei 1998 mulai digulirkannya Reformasi.

Prof Dr Amien Rais MA, salah satu tokoh sentral gerakan reformasi, menjelaskan agenda pertama yang menjadi tuntutan reformasi adalah amandemen konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Selanjutnya, agenda kedua adalah mengembalikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke peran pokoknya; ketiga, penegakan hukum; keempat, otonomi yang cukup luas; kelima, pemerintahan yang bersih (clean government); dan keenam, freedom of speech atau kebebasan menyatakan pendapat.

“Otonomi daerah tentu telah membuat rakyat di daerah jauh lebih berdaya dan makmur, tidak seperti di era sentralisasi di mana pemerintah pusat seperti drakula yang menyedot sumber daya alam di daerah kemudian membawanya ke pusat (Jakarta),” kata Amien Rais beberapa waktu lalu di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta.

Tetapi ada perkembangan yang kurang baik , menurut Amien Rais, pada saat ini.  Indonesia malah terjadi Nawa Sengsara atau Nawa Musibah pada pemerintahan sekarang ini.
Apa saja  Sembilan musibah atau Sembilan kesengsaraan itu?:

Pertama, sengsara politik

Tidak pernah ada sejauh usia saya ini ada, kekuasaan yang secara sistematis memecah belah bangsanya sendiri. Ini merujuk pada perpecahan di tubuh Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gesekan di internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kekacauan di tubuh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), hingga kasus ribut-ribut para ulama Nahdlatul Ulama (NU) saat muktamar di Jombang, Jawa Timur.

Ini bagi saya very very stupid  policy. Kalau kayak begini, ya, anak bangsa juga menjadi going down.

Kedua,  sengsara sosial

Ini ditunjukkan oleh tingkat ketimpangan antara orang kaya dan kalangan miskin atau gini ratio di Indonesia yang masih menganga.

Ketiga, sengsara ekonomi

Musibah ekonomi atau sengsara ekonomi ini terjadi dengan roti ekonomi yang jadi biang kerok Kue ekonomi yang jumbo hanya dikuasai atau dipegang oleh sekelompok anak bangsa dan sisanya adalah samudera kemiskinan dan pengangguran.

Keempat, sengsara hukum

Ini ditunjukkan oleh ketidakhadiran keadilan di tengah masyarakat. Hukum menjadi tumpul ketika berhadapan dengan elit, penguasa, atau orang-orang berpengaruh, sebaliknya menjadi sangat tajam ketika mengeksekusi rakyat kelas bawah.

Kelima, sengsara pendidikan

Pendidikan di negara ini betul-betul terpuruk. Kemampuan membaca anak Indonesia terendah di Asia Tenggara. Dari 49 negara berkembang yang dinilai oleh Badan Anak-anak Perserikatan Bangs-Bangsa (UNICEF), Indonesia masuk dalam jajaran tiga besar paling bawah.

Keenam, sengsara kecerdasan

Kita ini seperti bangsa yang agak lucu. Saya pernah berceramah di hadapan para penambang di Melbourne, Australia. Saya katakan kalau misalnya kami rakyat Indonesia meminta royalti tambang emas 6-7% masalah nggak? (Mereka menjawab), ‘oh, sangat masuk akal’. Tapi pemerintah ini sudah senang dengan 1-2%. Banyak hal yang tidak masuk akal bagi bangsa lain tapi di kita masuk akal,”

Ketujuh, musibah akhlak

Salah satu persoalan adalah merebaknya lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Ini LGBT tidak manusiawi tapi makin banyak pendukungnya. Kalau kita menentang (disebut melanggar) hak asasi,”

Kedelapan, sengsara kemanusiaan

Sebagai bangsa yang sakit atau sick nation. Ada yang bilang Kita ini seperti tidak fokus, seperti tidak mengenal mana yang benar dan mana yang salah. Dimana orang semakin sulit membedakan kebenaran dengan kebatilan,

Kesembilan, sengsara kepemimpinan

Sekarang, apa yang benar-benar kita miliki? perbankan, perikanan, pertambangan, pertanian, dan lain-lain tidak ada di tangan kita, tidak kita miliki sepenuhnya.

Selamat Hari Reformasi. (sayed/le)

Sumber: http://suaramuhammadiyah.com/kolom/2016/05/21/nawa-sengsara-atau-sembilan-musibah-di-indonesia-versi-amien-rais-2/



Kamis, 19 Mei 2016

Bupati Mukhlis Basyah: Lakukan Transformasi Menyeluruh

Banda Aceh (Gema) - Dimensi sosial Islam terpenting adalah tranformasi atau kemajuan. Fungsi transformasi menuju kemajuan ummat Islam di Aceh dan Indonesia masih cukup lemah. Karena itu, perlu dilakukan transformasi menyeluruh dalam semua hal mencakup budaya, ilmu pengetahuan, peradaban, pendidikan, etos kerja, ekonomi dan transformasi menciptakan kehidupan dunia baru. 

Demikian sambutan tertulis Bupati Aceh Besar Mukhlis Basyah yang dibacakan Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan SDM Rusyidi S.Sos pada acara pembukaan Musyawawarah Daerah (Musda) Gabungan Muhammmadiyah Aceh Besar, Pemuda Muhammadiyah, Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah di Aula Kantor Camat Indrapuri (15/5). 

Menurut Mukhlis, dimensi lainnnya menciptakan perdamaian. Hal ini menyangkut dua hal yaitu mendamaikan diri sendiri dan perdamaian sosial. Islam adalah agama damai, karena itu kita mesti berpikir terbaik untuk menciptakan kedamaian di atas bumi. “Ini merupakan tugas penting organisasi keislaman seperti Muhammadiyah,” katanya. 

Dia mengharapkan, Ormas Islam menjadi pilar atau benteng utama dalam mencegah sedini mungkin segala macam ketimpangan dan penyakit sosial. Fungsi pengawasan ini dapat dilakukan dengan memperbaiki moral dan akhlak sosial. “Segala bentuk kriminalitas, pencurian, pemerkosaan dan Narkoba harus dapat kita atasi dengan solusi keislaman,” pintanya. 

Sementara Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, Dr H Aslam Nur MA mengungkapkan, Muhammadiyah di Aceh telah berdiri sejak Indonesia belum merdeka, 1923. Hingga sekarang Ormas Islam tertua di tanah air ini telah menyelenggarakan berbagai amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan dan santunan sosial. “Muhammadiyah tempat kita beramal,” kata Aslam. 

Rekomendasi Musda Muhammadiyah mengeluarkan beberapa rekomendasi antara lain, mengharapkan Pemerintah Aceh Besar agar memberikan kebebasan pelaksanaan ibadah bagi masyarakat Aceh Besar sesuai dengan ketentuan Rasulullah SAW yang bersifat beragam dan tasamuh (toleran). “Musda Muhammadiyah Aceh Besar juga meminta Pemerintah Aceh Besar agar memperkuat Organisasi Sosial kemasyarakatan dan organisasi sosial keagamaan sebagai wadah pencerahan umat,” kata Ketua Panitia Musda, Afdhil SAg. 

Dia menyebutkan rekomendasi lainnya, Muhammadiyah mendukung upaya Pemerintah Aceh Besar menertibkan penebangan hutan secara illegal dan galian C tanpa izin, hal ini demi terjaminya kelestarian lingkungan hidup dan kehidupan yang abadi dan lestasi. “Untuk optimalisasi pelaksanaan syariat Islam, Muhammadiyah meminta Pemerintah Aceh Besar membuat kebijakan yang mendukung penggunaan sebagian dana gampong untuk penyelenggaraan aktivitas-aktivitas keislaman pada tingkat gampong,” kata Afdhil. 

Musda menetapkan ketua dan pimpinan/formatur masing-masing organisasi otonom Muhammadiyah. Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Aceh Besar periode 2015-2020 Drs Adnan Pantekulu, Ketua Aisyiah Hj Hayatunnufus SAg, Ketua Pemuda Muhammadiyah Hafidz Husein dan Ketua Nayiatul Aisyiah Siti Rahmah Diana SHI. Musda yang dihadiri sekitar 150 peserta itu berlangsung hingga sore hari di Komplek Kantor Camat Indrapuri, Aceh Besar.(Sayed Husen/Lamuri/Gema)

Selasa, 10 Mei 2016

Puisi



Hefa Lizayanti:

Untukmu Ide

Sampai sebegini akhirnya waktu
Aku masih setia memandangi kosong lembar kerjaku
Meraba setiap lintas benak
Nihil, tak ada sebersit pun engkau menghampiri
Tidak juga saat kalimat ini kutulis
Tapi aku harus menulis
Dan aku tetap terus menulis
Apapun yang berhasil terhampiri
Oleh tarian jemari

Kutanyakan padamu wahai ide
Mengapa engkau sebegitu suka merajuk
Kemarin, saat aku sedang berkendara
Lincah sekali engkau bermain di benakku
Menggodaku agar segera berhenti demi mengguratmu
Tapi aku tak dapat
Sudah terlalu telat untuk sampai ke rumah
Pula tadi malam
kala aku sedang bercengkrama dengan bahan masakan di dapur
ada-ada saja polahmu demi aku menyatakanmu
tapi sekali lagi aku tak mampu
khawatir dalam lapar menunggu anak-anakku ‘kan tertidur

maka saat aku menghampirimu hari ini
dalam keluangan yang kusahaja
engkau lenyap entah kemana
tanpa setitik rasa jua
tapi tak apa
aku sangat merasa pasti
meski dalam bentuk berbeda
engkau akan menggodaku lagi lain kali

Takengon, 1 Oktober 2015, 14.00 Wib


MENCARI MAKANAN HALAL DI BEIJING



Oleh Ulfa Khairina


Setelah beberapa kali menulis tentang lingkungan baru di Beijing, baik melalui blog, citizen reporter dan catatan di status Facebook. Beberapa pembaca, ada yang saya kenal dan tidak. Mereka bertanya, “Bagaimana dengan makanan halal di Beijing? Apakah sudah yakin apa yang Ulfa makan semuanya halal, tidak mengandung babi?” Pertanyaan-pertanyaan itu dikirim melalui email, aplikasi chatting dan ada pula yang bertanya langsung.

Pertanyaan-pertanyaan seperti sangat wajar. Mengingat Tiongkok bukanlah negara yang bermayoritas muslim. Terlebih lagi dikenal dengan negara komunis. Meskipun komunis adalah sebuah ideologi. Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap paham kapitalisme  di awal abad ke-19, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh  dan pekerja tani hanya bagian dari produksi dan lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi.

Pada akhirnya paham ini kerap dikait-kaitkan pada penolakan ketidakinginan percaya pada Tuhan. Padahal di Tiongkok banyak pengikut agama Buddha, ada yang kristen dan ada yang pula yang muslim, meskipun banyak yang masih tidak mempercayai adanya Tuhan dan mereka mengikuti aliran Kongzi (Konfusius), seorang pemikir Tiongkok yang monumennya tersebar di setiap kampus. Penduduk muslim tersebar luas di provinsi Xinjiang dan Gansu, dua wilayah yang selalu dilirik ‘lebih’ oleh pemerintahan.

Kekhawatiran yang sama juga menghantui saya ketika pertama kali ke Beijing. Menurut informasi yang saya dapat sebelum berangkat, Tiongkok bagian utara adalah kawasan yang hampir tidak ada muslim dan makanan halal sulit dicari. Berbeda dengan kawasan selatan. Tapi saya yakin ummat muslim dimana-mana, dengan penampilan saya yang berjilbab tidak mungkin tidak ada seorangpun hamba Allah yang menolong.

Sebelum berangkat ke Beijing, saya mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang kehidupan di Beijing. Saya catat dalam agenda mungil yang terus saya tenteng. Termasuk tulisan qingzhen (halal) dalam hanzi dan bagaimana memprononsasikan kata ini.

Salah satu informasi yang saya dapat dari blog  seorang mahasiswa asal Malaysia cukup menarik. Kekhawatiran saya pun berkurang. Dia menulis bahwa Tiongkok merupakan salah satu negara yang pemerintahannya memberi kebijakan kepada kampus. Tiap kampus harus membangun dan menyediakan makanan halal untuk untuk pelajar di kampus yang menuntut ilmu di sana. Blogger asal Malaysia ini melanjutkan studi di Beijing Foreign Studies University. Ia menulis untuk memberikan informasi kepada calon-calon pelajar asal negeri jiran. Informasi ini juga bermanfaat bagi saya tentunya.

Meskipun informasi yang saya kumpulkan cukup banyak. Saya juga sempat kebingungan dengan deretan rumah makan yang tulisannya sama semua di mata saya. Karena ragu, dua hari pertama saya tidak makan nasi. Saya hanya makan buah. Semua makanan, seperti biskuit di super market seakan hilang label halalnya. Di hari ketiga baru saya menemukan rumah makan muslim di luar kampus. Agak jauh. Setiap hari saya bungkus dan makan di asrama. Satu porsi saya bagi dua, makan siang dan makan malam.

Sebulan kemudian baru saya menemukan kantin muslim di area kampus. Letaknya berdekatan dengan kantin umum yang besar dan terdiri dari dua lantai. Sementara kantin muslim letaknya hampir tak diketahui dan kecil sekali. Hanya tulisan syahadat di pintu masuk yang menjadi tanda.

Sampai di sana pun saya tidak menikmati kemudahan makan. Kartu kantin saya tidak bisa digunakan. Anehnya kartu saya bisa digunakan di kantin manapun, termasuk belanja di supermarket. Tapi tidak di kantin muslim. Untuk menggunakannya harus diaktifkan dulu di kantor kemahasiswaan dengan menyebut status agama.

Dengan keterbatasan bahasa dan perut kosong, saya hanya bisa terdiam. Seorang gadis Tiongkok dengan wajah kebule-bulean menghampiri saya. Ia menjelaskan sebab tidak bisa digunakan, dia juga menawarkan menggunakan kartunya. Dari paras dan bahasa yang ia gunakan, saya menebak dia adalah etnik Uyghur, provinsi Xinjiang. Karena gadis itu akhirnya saya makan nasi. Sayangnya sampai sekarang saya tidak pernah melihat dia lagi.

Setelah kejadian itu, ternyata ada kantin muslim lainnya terletak di gerbang timur kampus. Makanannya tidak seenak di kantin kampus. Namun cukup membantu mengganjal perut. Cara saya memesan makananpun hanya dengan modal menunjuk gambar atau tulisan secara acak. Kadang-kadang makanan yang saya tebak enak, kadang tidak bisa diterima perut.

Setelah satu semester semuanya jauh lebih baik. Meskipun tidak sepenuhnya bisa membaca hanzi. Namun saya bisa mengenali dengan baik rumah makan muslim. Teman-teman non muslim terkadang bertanya meminta pembuktian, “Kenapa kamu tahu? Berikan bukti.”

Pertama, kenali warna. Islam identik dengan warna hijau. Umumnya rumah makan muslim di Beijing dan kawasan lain di China ditulis dengan warna hijau. Sejauh ini saya tidak menemukan warna lain. Meskipun banyak rumah makan umum yang berwarna hijau, tapi khusus untuk muslim ada tulisan  清真 (baca: qingzhen)yang artinya halal, dilengkapi dengan tulisan syahadat yang kurang rapi bahkan terkadang nyaris tidak terbaca.

Kedua, jika restoran besar umumnya didekorasi dengan gaya timur tengah. Mirip mesjid. Jika tiba di dalam suasananya juga berbeda. Ornamen Islami terpajang dimana-mana dan musik yang dinyalakan sebagai background kadang-kadang lagu dengan bahasa uyghur atau irama timur tengah.

Ketiga, penampilan penjual berbeda. Mereka menutup seluruh kepala atau setengah kepala dengan cara khas. Hampir semua penjual berpenampilan seperti ini.

Kemana saja saya melangkah, mata saya selalu menangkap rumah makan muslim di Beijing. Saya pun tidak takut kelaparan lagi di negeri ini karena salah makan. Bahkan di sekitar kampus, saya menemukan sekitar delapan kantin muslim. Harganya bervariasi, makananya berbeda rasa. Di antara semua jenis makanan, lidah saya paling familiar dengan makanan Xinjiang. Tidak seperti chinese food pada umumnya. 

Beijing cukup ramah kepada orang asing, kepada muslim. Khususnya bagi orag asing. Beberapa orang yang pertama kali ke Beijing menganggap Beijing begitu mengerikan, kolot dan terbelakang budaya. Mungkin juga karena culture shock.
 
Saya tidak merasa ditatap aneh di sini. Berbeda sekali ketika saya pergi ke luar dari kota Beijing. Penduduk lokal akan datang mendekat , menatap saya lama-lama. Ada yang diam-diam memotret, tapi suara kamera tidak dinonaktifkan. Cukup jelas untuk mengetahui ada ‘paparazzi’. Ada pula yang datang dengan sopan dan mengajak foto bersama. Mungkin di mata mereka orang asing dengan kerudung agak unik.

Di Beijing, semuanya normal.

Penulis adalah mahasiswi program magister jurusan International Journalism and Communication, School of Television, Arts and Journalism, Communication University of China, Beijing-Tiongkok.