Senin, 21 November 2016

Zakat Menurut Hamka



Prof Dr Hamka mengatakan, sekiranya kaum Muslimin telah sadar akan guna zakat sebagai salah satu tiang (rukun) Islam dan dipungut serta dibagikan dengan teratur, kita percaya dengan zakat akan bisa membangun Islam yang mulia, Islam yang layak sebagai anutan dari satu bangsa yang merdeka.

Dalam Tafsir Al-Azhar Juzu’ X, surat Al-Anfal ayat 41-75 dan surat At-Taubah ayat 1-93, Hamka membahas masalah zakat. Hamka mengajak umat Islam menengok kembali cita-cita dua pemimpin besar umat Islam Indonesia, KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pemimpin Sarekat Islam) dalam hal menggerakkan zakat dengan terorganisir secara modern, dikumpulkan dan dibagikan sesuai mustahiknya.

Menurut Hamka,  sekiranya kaum Muslimin telah sadar akan guna zakat sebagai salah satu tiang (rukun) Islam dan dipungut serta dibagikan dengan teratur, kita percaya dengan zakat akan bisa membangun Islam yang mulia, Islam yang layak sebagai anutan dari satu bangsa yang merdeka. Padahal jumlah itu tidak banyak hanya sekedar dua setengah persen. Dan kitapun telah mulai melihat di tanah air kita timbulnya kesadaran itu dengan berangsur-angsur. Mudah-mudahan kita menjadi umat yang sadar.

Sesuai ayat 60 surat At-Taubah bahwa pengeluaran zakat dihadapkan untuk dua keperluan. Pertama, keperluan umum, Kedua, untuk kepentingan perseorangan. “Sabilillah” dan kemerdekaan budak (Riqab) keduanya adalah untuk kemaslahatan umum. Kata “Sabilillah” mengandung daerah yang luas sekali. Kemerdekaan budak pun bukan untuk kepentingan pribadi budak yang dimerdekakan itu saja, tetapi membersihkan masyarakat dari adanya manusia yang dipandang rendah.

Adapun kepentingan fakir dan miskin, amil (orang yang bertanggung jawab mengurus zakat), orang yang ditarik hatinya, orang-orang yang berhutang, dan orang yang tengah musafir dalam perjalanan, adalah untuk kepentingan pribadi orang yang dibantu itu sendiri, karena ukhuwah atau persaudaraan yang ditanamkan oleh Islam kepada umatnya. Tetapi memberi zakat kepada fakir miskin pun boleh diartikan mengandung kedua maksud di atas tadi, yaitu untuk kepentingan pribadi orang yang dibantu, dan membersihkan masyarakat umum dari kemelaratan dan kemiskinan, sebagai tujuan dari satu masyarakat yang adil dan makmur.

Menurut Hamka, “fakir miskin” yang berhak menerima zakat adalah yang masih beragama Islam. Yang murtad dari Islam atau mempunyai ideologi tidak percaya kepada Tuhan (Komunis dan Atheis) tidak berhak menerima zakat. Sedangkan orang Yahudi dan Nasrani yang taat memegang agama mereka, tetapi miskin, kalau yang empunya zakat menimbang patut diberi, bolehlah mereka diberi sesudah mendahulukan fakir miskin di kalangan Islam sendiri.

Hamka menulis, Al Quran satu kali pernah memberi kita pedoman untuk menentukan bahwa orang miskin itu juga ada yang mempunyai usaha. Ayat 79 surat Al Kahfi menerangkan jawaban hamba Allah yang diberi Rahmat dan Ilmu oleh Tuhan, yang menurut setengah ahli tafsir bernama Nabi Khidir. Ketika dia menjawab kepada Nabi Musa apa sebab perahu itu dilobangi, dia mengatakan bahwa perahu itu ialah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di lautan, sedang raja di negeri itu suka merampok perahu orang yang dipandangnya bagus.

Sebuah Hadits Rasulullah dapat juga memberi kita pedoman tentang arti miskin, “Berkata Rasulullah Saw: Bukanlah orang miskin itu dengan berkeliling-keliling, meminta-minta kepada manusia, lalu ditolak akan dia oleh satu suap dua suap atau satu butir dua butir kurma. Lalu orang bertanya: Kalau begitu apa yang miskin itu, ya Rasul Allah” Beliau menjawab: Ialah orang yang tidak mempunyai orang kaya buat membantunya, dan orang lain tidak mengerti akan nasibnya supaya orang bersedekah kepadanya, dan dia pun tidak pernah meminta-minta kepada orang lain.” (HR Bukhari dan Muslim)

Gharimin menurut Hamka adalah orang yang berhutang dan sudah sangat terdesak, sedangkan dia tidak sanggup membayarnya, bolehlah melaporkan nasibnya kepada penguasa yang membagikan zakat, agar hutang itu dibayarkan dengan zakat. Pemerintah atau dalam hal ini amil wajib membayarkan hutang tersebut setelah melakukan penelitian dengan seksama.

Seorang sahabat Rasulullah Saw bernama Qubaishah bin Mukhariq dari Bani Hilal datang kepada Rasulullah menyatakan nasibnya, berhutang tetapi sudah lama dia berusaha belum juga dapat terbayar. Maka bersabdalah Rasulullah, “Tunggulah, sampai datang zakat, akan kami suruhkan memberikan untuk engkau.” Hadits yang dinukil Hamka dalam Tafsir Al-Azhar memberi pelajaran terkait tugas amil yang semestinya mengantarkan zakat itu kepada orang yang berhak dan bukan mustahik yang bolak-balik meminta dan menanyakan zakat kepada amil.

Adapun orang-orang yang dalam perjalanan, kata Hamka, sependapat para ulama bahwa orang yang terputus hubungannya dengan kampung halamannya karena suatu perjalanan, berhak menerima zakat. Meskipun dia seorang yang kaya di negerinya, namun dalam musafir adalah dia miskin. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menganjurkan supaya orang musafir untuk menambah pengetahuan, pengalaman, persahabatan dan perbandingan. Syaikh Taher Jalaluddin, ulama besar dan salah satu pelopor pembaharuan Islam asal Minangkabau yang bermukim di Singapura berfatwa, “Seorang kaya di negerinya, tetapi dia fakir dalam perjalanan, maka dia berhak diberi bantuan belanja dengan zakat.”

Kata Hamka, di beberapa negeri besar di India, baik sebelum berpisah menjadi dua negara (India dan Pakistan) dan sesudahnya, ditemukan rumah-rumah yang bernama “Musafir Khanah”, yaitu tempat bermalam bagi orang-orang Muslim yang tengah musafir.

Menurut Hamka, beratus tahun cara kita berfikir telah mundur, dan fikiran tentang zakat telah membeku. Hamka memberi contoh, bila kesadaran umat Islam Indonesia tentang mengatur, mengumpul dan membagikan zakat telah berjalan dengan lancar, banyaklah usaha dan amal maslahat umum yang dapat dibangun, dari satu pos yang bernama “Sabilillah” itu. Dengan pos “Sabilillah” kita dapat membangun masjid-masjid, rumah-rumah sakit, membelanjai Mubaligh Islam untuk menyebarkan Islam kepada warga negara Indonesia yang belum beragama atau memberi pengertian umat Islam yang “buta agama” tentang ajaran agamanya, atau memberi beasiswa (studiesfonds), dan membelanjai pemuda-pemuda Islam yang berbakat untuk menambah ilmu pengetahuan, supaya layak menjadi bangsa yang duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa yang lain. (Sayed Husen/M Fuad Nasar/BAZNAS)

Minggu, 13 November 2016

Proaktif

internet

Salah satu kebiasaan orang sukses adalah proaktif. Bahkan Stephen Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People, menempat proaktif sebagai kebiasaan pertama dari tujuh kebiasaan orang-orang yang berhasil. Kata proaktif bukan hanya bermakna mengambil inisiatif tetapi di dalamnya ada juga tanggungjawab, aktif bertindak, dan memegang prinsip.

Di era yang berubah begitu cepat saat ini, kita wajib memiliki kebiasaan proaktif. Segera menentukan pilihan yang ada di depan mata dengan penuh tanggung jawab. Selalu aktif bertindak khususnya pada hal-hal yang dibawah kekuasaan atau pengaruhnya dan berpikir positif di luar hal yang kita tidak memiliki pengaruh sedikitpun.

Terpilihnya Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tentu itu bukan dibawah kekuasaan atau pengaruh kita maka berpikirlah positif dan mengambil langkah-langkah antisipatif yang kemungkinan terjadi. Tetapi melakukan pekerjaan sesuai job description itu ada di ranah kekuasaan atau pengaruh kita, dalam kondisi ini jadilah manusia yang bertanggungjawab dengan cara aktif bertindak dengan berpegang kepada prinsip hidup yang diyakininya.

Kata lain proaktif adalah menjemput bola, bukan berdiam diri. Sesuatu yang bisa kita kerjakan, bila tidak melanggar prinsip yang ada segera kerjakan, jangan ditunda-tunda. Orang yang proaktif akan segera enter (masuk) mengerjakan yang bisa dikerjakan, bukan terlalu sering berkata entar (nanti).

Orang yang proaktif melakukan sesuatu bukan karena emosional alias reaktif, tetapi dengan didasari oleh kesadaran, tanggungjawab dan prinsip-prinsip yang diyakininya. Istilah yang sering saya gunakan “orangnya tenang, tetapi cekatan. Orangnya senang bekerja, tetapi tidak sembrono.”

Cobalah data apa-apa yang sekarang dalam pengaruh atau kendali Anda, jadilah proaktif di dalamnya. Meski terkadang tindakan kita kecil dampaknya bisa besar karena memang sesuatu yang besar tersusun dari hal-hal yang kecil. Perbanyaklah pro aktif di wilayah yang kita kuasai dan bisa kita lakukan karena boleh jadi hal itulah pintu kesuksesan kita dalam banyak hal. Apakah Anda sudah pro aktif? (Jamil Azzaini)

 Sumber: http://www.jamilazzaini.com/proaktif/


Kamis, 10 November 2016

ENERGI EKSTRA

Begitu banyak peran yang  kita jalani dalam kehidupan di dunia ini. Seperti anda, saya pun memerankan banyak hal, sebagai orangtua bagi anak-anak, sebagi atasan, juga menjadi bawahan dari sistem birokrasi yang ada. Saya pun dosen, guru  freelance pada Yaysan Qatar Charity yang memfokuskan programnya  pada pemberdayaan anak yatim. Dan  jangan lupa, saya juga seorang tetangga dan anggota arisan Gang di lingkungan tempat  tinggal saya.

Seringkali peran tersebut  berjalan bersamaan, yang harus dilaksanakan dalam satu watu. Padahal setiap peran tadi terdapat tanggungjawab besar dan tugas yang tak mudah. Kadang  setelah menuntaskan satu tanggungjawab, muncul lagi tanggungjawab lain dalam waktu bersamaan.

Tentunya ini membutuhkan energi ekstra yang harus selalu siap, agar saya mampu menuntaskan tanggungjawab dan tantangan peran tadi.

Bagaimana solusi masalah ini? Sayapun mencoba menduskusikan hal ini kepada senior saya yang  memiliki jam terbang tinggi dalam permasalahan ini.

Alhamdulillah, dia pun memberi nasihat yang sampai saat ini masih terbukti manjur bagi kehidupan saya sampai saat ini.

Pertama, saya mencoba sedapat mungkin menghindari  melakukan  banyak pekerjaan dalam satu waktu, karena ketika kita tidak  fokus pada satu hal, justru menumbulkan potensi melemahkan kemampuan energi ekstra kita yang terbuang sia-sia, tanpa mendapatkan hasil maksimal.

Jadi, biasakanlah melakikan satu pekerjaan  dalam satu waktu saja. Misalya saat berada di kantor, upayakan semaksimal mungkin untuk menuntaskan tugas di kantor tanpa dicampuri dengan urusan rumahan. Sebaliknya, saat berada di rumah, saya benar-benar melupakan  beban pekerjaan.

Kata kuncinya adalah fokus. Saat di rumah, saya memfokuskan diri pada tugas seorang isteri dan menjadi ibu bagi ketiga anak saya.

Kedua, mengaktifkan seluruh energi baik fisik maupun mental untuk  menyambut berbagai tugas yang  sudah terpampang nyata di depan mata.

Ketiga, mencari sosok tokoh yang saya teladani dalam hal kemampuannya  mengelola berbagai peran di dunia ini. Saya ikuti cara berpikirnya, pola hidupnya, semangat dan  energi yang tidak pudar, dan menginspirasi banyak orang.

Ternyata cara ini manjur bagi seorang perempuan yang selalu di kelilingi keruwetan menjalankan berbagi peran. Apa ada lagi nasihat anda? (Sri Hidayanti)

Senin, 07 November 2016

Inovasi Tiada Henti


Oleh Sri Hidayanti

Kehidupan ini sangat dinamis. Dunia penuh ketidakpastian. Banyak hal berubah begitu cepat. Keadaan seperti ini harus dihadapi dengan inovasi. Ya, inovasi menjadi satu keniscayaan dalam setiap segi kehidupan. Baik dalam masalah pekerjaan, bisnis, kehidupan keluarga juga tak luput dari sentuhan inovasi, agar tak terlalu menjemukan dan mengancam kebahagiaan.

Dalam berbisnis, saya tergolong sangat awam dan masih taraf coba-coba. Warung sembako saya ternyata tak semulus  yang saya harapkan. Saya pun memutar otak agar pelanggan tak lari. Mulailah saya menerapkan diskon sampai bonus setiap kali belanja di atas R 50 ribu dapat gratis sabun cuci piring.

Dalam pekerjaan, di Baitul Mal Aceh Tamiang yang saya pimpin, jika tidak mampu melahirkan program inovatif dan tepat sasaran, niscaya bakal kehilangan kepercayaan dari  masyarakat, maka wajib hukumnya para pengelola memiliki budaya inovasi. Bagaimana  caranya?

Dimulai dari diri amil itu sendiri. Harusnya setiap amil menyadari bahwa tugasnya adalah sebagai agen perubahan dan pemberdaya di tengah-tengah  masyarakat. Dialah yang mampu mentransformasikan masyarakat yang sebelumnya  lemah menjadi masyarakat yang mandiri.

Makanya diciptakan berbagai program yang tepat, agar masyarakt miskin cepat bangkit dari kemiskinannya. Apakah program yang selama ini diterapkan sudah benar. Dibuatlah perencanaan ulang, diorganisasikan, dilaksanakan, kemudian evaluasi ulang. Dimana kekuatan dan kelemahannya.

Ciptakan inovasi-inovasi agar efektif dan efisien. Saya memimpikan amil yang inovatif dan kreatif dan  tidak hanya menunggu perintah atasan. Ya, itulah harapan.  Ini baru tahap harapan saya sebagai pimpinan. Lalu, bagaimana dengan realitasnya?

Saya terdiam sejenak. Ternyata budaya inovasi ini belum merasuk pada kebanyakan  amil. Masih banyak amil yang bekerja tanpa disertai  motivasi yang kuat untuk menciptakan inovasi. Banyak amil yang bekerja tanpa dorongan spiritual yang kuat, keyakinan bahwa bekerja adalah ibadah, penghapus dosa yang tidak bisa digantikan dengan shalat, pusa dan lainnya.

Lalu, apa yang harus saya lakukan? Berdiskusi dengan senior yang lebih pengalaman tentunya. Saya bertanya pada para senior yang pengalaman dan manajemennya lebih baik. Saya pun berdiskusi dengan amil junior  yang pikirannya belum terkontaminasi, guna mencari masukan  dan cara pandang baru bagi kemajuan di masa akan datang.

Saya khawatir jika kemalasan menciptakan inovasi berakibat fatal, yang akhirya berdampak  pada kemunduran Baitul Mal Aceh Tamiang. Semoga saja tidak demikian.

Rabu, 02 November 2016

Teruslah Kontraksi, Teruslah Stress


Oleh Sri Hidayanti, Kepala Baitul Mal Aceh Tamiang 
 
Pembinaan Muallaf di Tamiang
Akhir Januari 2014 lalu, saya diangkat menjadi Kepala Baitul Mal Tamiang. Mugkin anda belum tahu, lembaga semacam apa Baitul Mal. Bergerak di bidang apakah kiranya.

Baitul Mal adalah lembaga daerah non struktural yang bertugas mengelola zakat, infaq, shadaqah dan harta agama lainnya dan sekaligus mendistribusikan dan mendayagunakannya sesuai aturan perundangan yang berlaku.

Selama lima tahun trakhir saya terjun di bidang ini, saat itu saya belum menduduki top leader. Penerimaam zakat ketika itu masih  Rp 2 milyar.

Saya kumpulkan tim saya  dan memasang target dua kali lipat dari pemasukan sebelumnya dan harus  diraih tahun depan. Awalnya, tim saya menolak, karana dianggap terlalu tinggi, mengingat kendala yang dialami selama ini, seperti mininmya sosialisasi dan masih lemahnya regulasi yang tersedia, sehingga sulit menembus birokrasi. Tapi saya tetap memutuskan untuk menembusnya.

Stress? Capek? Tentu saja itu terjadi. Setiap kita mengawali suatu tantangan baru atau merintis suatu perubahan pasti akan menimbulkan kontraksi. Tapi kapan lagi kalau tidak dimulai  dari sekarang. Maka mulailah kita susun strategi.

Pertama, memperbaiki regulasi zakat dan infaq yang ada. Saya masih ingat bagaimana dalam sehari tim saya yang notabene minim ilmu legal drafting harus belajar menyusun sebuah Perbup Pengelolaan Zakat.

Alhamdulillah kami mendapat bantuan dari kawan-kawan di Baitul Mal Aceh. Hadir mendampingi kami, sayed Muhammad husen, yang pada saat itu menjabat Kabid Pengumpulan Zakat Baitul Mal Aceh.

Kedua, surat  menyurat kita tingkatkan kepada semua instansi terkait dan seluruh pertokoan  dan usaha berisi imbuan berzakat.

Ketiga, menggencarkan kampanye zakat dengan memasang seratus sepanduk ajakan berzakat dan dalam waktu bersamaan menjalin sinergi dengan para da’i dan khatib Jumat untuk membantu mensosialisasikan zakat di tengah-tengah masyarakat.

Saya masih ingat sindiran Kakanmenag  Aceh Tamiang, Salamina Marwah: “Hebat kali spanduk Baitul Mal ya.”

Alhamdulilah kerja tim saya berhasil menembus target tersebut mencapai Rp 3,7 miliar dan sekarang sudah  mencapai Rp 9 milyar.

Saya tahu, tim saya saat itu stres, atau mungin capek, tapi memang kita membutuhkan stes, kita menciptakan kontraksi, agar kita mampu menciptakan lompatan dalam kinerja kita.  Maka teruslah stres dan teruslah kontraksi.