Rabu, 29 Juni 2016

Panggilan Jihad

Oleh: Buya Hamka

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Allahu Akbar

Kalam suci menyentuh kalbu berjuang
Maju serentak membela kebenaran
Untuk negara, bangsa dan kemakmuran
Hukum Allah tegakkan, hukum Allah tegakkan

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Allahu Akbar 

Putra-putri Islam harapan agama
Majulah serentak genggamkan persatuan, kalam Tuhan
Mari kita memuji, mari kita memuja, 2X
Peganglah persatuan kalam Tuhan

Kalam suci menyentuh kalbu berjuang
Maju serentak mencapai kemenangan
Untuk negara, bangsa dan keadilan
Panggilan jihad hidupkan, panggilan jihad hidupkan

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Allahu Akbar

Pemuda-pemudi Islam bangunlah
Panggilan jihad rampungkan
Wasiat Muhammad peganglah
Harta dan jiwa serahkan
Binalah persatuan, sirnakan perpecahan, 2X
Persatuan kalam Tuhan

Kalam Ilahi menuntut persatuan
Perpecahan melumpuhkan kekuatan
Pertikaian menguntungkan musuh Tuhan
Hanya iman tauhid dapat menyatukan
Tuntutan Agama menjadi tujuan
Panggilan jihad hidupkan, panggilan jihad hidupkan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Allahu Akbar

Ulama pemimpin islam dengarlah, demi agama sadarlah, 2X
Hentikan pertikaian, ciptakan perdamaian
Hentikan pertikaian, ciptakan perdamaian
Hentikan pertikaian, ciptakan perdamaian
Menuju persatuan kalam Tuhan.

Kalam Ilahi menuntut persatuan
Perpecahan melumpuhkan kekuatan
Pertikaian menguntungkan musuh Tuhan
Hanya iman tauhid dapat menyatukan
Tuntutan agama menjadi tujuan
Panggilan Jihad hidupkan, panggilan jihad hidupkan

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Allahu Akbar
Panggilan Jihad hidupkan

Catt: dapat didengarkan setiap malam sabtu pukul 21.00 wib di radio baiturrahman fm 98,5

Jumat, 24 Juni 2016

Pengurus Pemuda Muhammadiyah Aceh Besar Dilantik

Lamurionline.com—Indrapuri. Pengurus Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Kabupaten Aceh Besar periode 2014-2018, Selasa (21/06) resmi dilantik di Aula Kantor Camat Indrapuri, Aceh Besar. Prosesi pelantikan dilakukan langsung oleh Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Aceh, Munawar Syah, MA. 

Kegiatan pelantikan tersebut turut dihadiri unsur penasehat, pembina, keluarga besar Muhammadiyah Aceh Besar, Muspida Aceh Besar dan juga sejumlah tokoh masyarakat setempat. Turut hadir dua bakal calon kandidat Bupati Aceh Besar Ir Mawardi Ali dan Saifuddin Yahya (Pak Cek) yang diwakili Ketua Tim Pemenangan Hasballah, SAg. 

Hafidh HS selaku Ketua PDPM Aceh Besar usai pelantikan berharap keberadaan pemuda muhammadiyah bisa mengubah pandangan masyarakat selama ini tentang Muhammadiyah. “Kalau untuk kemajuan dan syiar Islam tdak perlu kita saling menjatuhkan,” ujar Hafidz. Ia juga menjelaskan, selama enam periode yang lalu baru periode yang ketujuh ini dilakukan pelantikan. Hal ini diharapkan bisa menjadi barometer untuk kemajuan pemuda muhammadiyah ke depan selaku kader pembangunan bangsa. 

Hafids HS terpilih dalam Musda 15 Mei 2016 yang diusul oleh enam Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah (PCPM) dengan perolehan 19 suara. 

Sementara Ketua PWPM Aceh Munawar Syah, MA menjelaskan dari 23 Kabupaten/Kota se Aceh baru 10 yang melalukan musda, termasuk Aceh Besar. Munawar berharap Pemuda Muhammadiyah nantinya bisa menjadi pelopor setiap kegiatan Muhammadiyah. 

Ketua panitia pelaksana Fakhrizan SPdI yang ditemui Lamuri mengatakan, selain pelantikan PDPM juga menggelar buka puasa bersama dan menyerahkan santunan untuk 63 anak yatim. Sementara tausiah diisi oleh Prof. Dr. Alyasa Abubakar, MA.(Abrar/Sayed Husen)

http://www.lamurionline.com/2016/06/pengurus-pemuda-muhammadiyah-aceh-besar.html


Mohammad Natsir dan Masalah Ikhtilaf

IKHTILAF (perbedaan pendapat) sebenarnya merupakan akibat logis dari terbukanya pintu ijtihad. Jadi bukan sebagai sumbertafarruq (perpecahan). Sumber tafarruq dan permusuhan adalah ananiyah (egois) dan nafsu syaithaniyah.
Berikut ini pokok-pokok kajian Dr. Mohammad Natsir tentang hal itu, yang diangkat dan disarikan dari bukunya, Fiqhud-Da’wah.
Timbulnya ikhtilaf di kalangan kaum muslimin dalam berbagai masalah furu’iyah, adalah suatu hal yang wajar dan logis. Itu sebagai konsekuensi dari terbukanya pintu ijtihad. Sejak zaman Rasulullah saw., baik tafaquh fiddin (pendalaman pemahaman Islam) secara umum, maupun ijtihad secara khusus, sudah mulai memasyarakat di kalangan para sahabat. Oleh karena itu,ikhtilaf pun sudah mulai muncul di kalangan mereka. Namun demikian, hal itu tidak membuat mereka berpecah belah.
Para sahabat senantiasa berpegang teguh pada petunjuk Risalah itu sendiri:
“Maka apabila kamu bersilang pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah dia kepada Allah dan Rasul,” (an-Nisa’ 59).
Di kalangan para imam mujtahid terkemuka pun demikian. Antara satu dengan lainnya, dalam banyak hal, saling berbeda pendapat, terjadi ikhtilaf. Imam Syafi’i misalnya, banyak hasil ijtihadnya yang berbeda dengan gurunya, Imam Malik. Demikian pula Imam Hanbali, tidak sedikit hasil ijtihadnya yang berbeda dengan gurunya, Imam Syafi’i. Sementara itu, Imam Abu Hanifah pun demikian. Hasil ijtihadnya, banyak yang berbeda dengan ketiga imam mujtahid yang tersebut lebih dahulu. Walhasil, ikhtilaf sebagai dampak yang logis dari ijtihad, sama sekali tidak menjadi masalah di kalangan para imam mujtahid tersebut.
Mereka juga senantiasa berpegang teguh kepada pedoman yang telah dipakai oleh para shahabat Nabi saw. Yaitu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, bila terjadi silang pendapat. Bahkan dengan penuh tawadhdhu’ (rendah hati), masing-masing mengingatkan dengan tegas terhadap murid dan pengikutnya, agar jangan sekali-kali mengklaim bahwa fatwa atau hasil ijtihad para imamnya itu sebagai pendapat yang final, yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
Dengan ungkapan dan gayanya masing-masing, para imam mujtahid itu menyuruh untuk meninggalkan fatwa atau hasil ijtihadnya, bila ternyata di kemudian hari, fatwa dan hasil ijtihadnya itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jadi al-Qur’an dan Sunnah Rasul lah yang senantiasa harus menjadi pegangan dan pedoman, sedang fatwa atau hasilijtihad para imam itu dikalahkan.
Pesan Imam Syafi’i antara lain: “Bila kamu jumpai dalam kitabku sesuatu yang menyalahi Sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. maka ambillah Sunnah Rasul tersebut dan tinggalkanlah apa yang kufatwakan.” (al-Baihaqi, al-Manar IV-693).
Pesan Imam Malik bin Anas, antara lain: “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu, perhatikanlah pendapatku. Maka setiap pendapatku yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, ambillah dia. Sedang setiap pendapatku yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah dia!” (Ibnu Abdil- Barr, al-Manar IV-572).
Ketika Imam Abu Hanifah ditanya oleh salah seorang muridnya, tentang bagaimana sikap yang harus dilakukan bila ternyata fatwa atau hasil ijtihad beliau di kemudian hari menyalahi al-Qur’an atau Sunnah Rasul, beliau menjawab: “Tinggalkanlah pendapatku, bila ternyata dia menyalahi Kitab Allah, dan tinggalkan pula pendapatku, bila dia ternyata menyalahi Sunnah Rasulullah.” (Imam Syaukani, al-Qaulul Mufiid 23) .
Semakin tinggi bobot seorang mujtahid, semakin tinggi pula kadar tasamuh (toleransi)-nya terhadap “hak” dan “kesempatan” orang lain untuk berijtihad dan berbeda pendapat. Baik orang lain itu kebetulan hidup sezaman, ataupun sesudahnya. Mereka berijtihad dengan mengerahkan segenap potensinya, dengan penuh tanggung jawab, dan disertai dengan ketulusan hati, mendambakan keridhaan-Nya semata.
Sebagaimana telah dimaklumi, Imam Syafi’i rahimahullah tidak segan-segan untuk merevisi dan memperbaiki fatwanya sendiri, bila memang ternyata perlu dikoreksi. Sehingga kita kenal istilah Qaul Qadiim (pendapat lama) dan Qaul Jadiid (pendapat baru). Qaul Qadiim merupakan kumpulan fatwa-fatwanya ketika masih tinggal di Irak. Sedang Qaul Jadiid merupakan kumpulan fatwa-fatwanya setelah beliau hijrah ke Mesir.
Begitu tinggi tawadhdhu’nya sehingga di kesempatan yang lain, beliau berkata: “Setiap masalah apa saja yang ternyata dijumpai hadits shahih dari Rasulullah saw. menyalahi pendapatku, maka aku tentu rujuk kepadanya dan meninggalkan pendapatku itu. Baik di saat hayatku maupun sesudah matiku.” (Imam Syaukani, al-Qaulul Mufiid 24).
Untuk ruju’ (kembali pada kebenaran al-Qur’an dan Sunnah), bila ternyata memang keliru, bagi mereka bukan suatu ‘aib (cela), tapi sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan, suatu tindakan yang mulia dan terpuji. Betapa “kologial”nya, segar dan tulus hubungan pribadi di antara mereka, sekalipun fatwa-fatwa mereka dalam banyak masalah saling berbeda, bahkan terkadang saling bertolak belakang. Imam Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan, Imam Syafi’i pernah berkata kepada kami: “Apabila kamu menjumpai suatu hadits shahih, maka sampaikanlah kepadaku, supaya aku dapat berpegang kepadanya.” (al-Manar, IV-694).
Di balik ketoleransianya yang demikian tinggi, mereka juga penuh tanggung jawab, berani menanggung resiko dalam mempertahankan pendapat dan hasil ijtihad-nya. Imam Malik in Anas misalnya, rela dihukum pukul di hadapan umum daripada harus melepaskan pendirian yang diyakininya. Imam Ahmad bin Hanbal, bersedia dirantai oleh pihak penguasa, Khalifah Ma’mun, karena beliau menolak kehendak khalifah yang menyuruh untuk mengubah sikap dan pendiriannya tentang suatu aqidah. Sementara Imam Abu Hanifah, lebih suka dimasukkan penjara ketimbang dipaksa menjadi Qaadhi di masa Khalifah al-Mansur. Bahkan akhirnya, beliau wafat dalam penjara.
Lebih dari itu semua, para imam pantang pula menggunakan kekuasaan duniawi untuk memonopoli dan memaksa pikiran orang banyak agar bersedia menerima pendiriannya. Imam Malik misalnya, ketika Khalifah Harun al-Rasyid bermaksud hendak mendekritkan fatwa beliau sebagai “mazhab resmi” yang harus dianut oleh seluruh warganya, maka Imam Malik berkeberatan dan meminta agar Khalifah jangan melakukan hal itu.” (Imam Syukani, al-Qaulul Mufiid 28).
Demikianlah para sahabat dan imam mujtahid di kalangan ulama salaf telah meragakan teladan yang indah, baik dengan perkataan maupun dengan sikap dan perbuatan, bagaimana mempraktikkan ijtihad, mencurahkan segenap potensi untuk mencari kebenaran danbertahkim (berhukum) kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul, dengan penuh tanggung jawab dan disertai toleransi demikian tinggi serta ketulusan hati demi mendambakan keridhaan Allah semata. Sehingga ikhtilaf yang terjadi di antara kalangan mereka tidak melahirkan perpecahan. Keutuhan umat tetap terpelihara, tanpa kejumudan (kebekuan), dan ketuguhan pendirian dapat dilestarikan, tanpa keta’ashuban (fanatik).
Sumber Tafarruq
Pernah Imam Ghazali memberi nasihat kepada mereka yang hendak memasukki pembahasan masalah-masalah khilafiyah (perbedaan pendapat), hendaknya terlebih dahulu memenuhi ketentuan-ketentuan yang sudah muttafaq alaih, sudah menjadi konsensus di kalangan umat Islam, dan prinsip ini harus dipegang dengan teguh. Taqwa dan wara’ (kebersihan ruhani dan kebersihan dari segala kemungkaran) misalnya, yang sudah disepakati oleh semua ahli agama sebagai perbekalan hidup, harus tetap dijaga dan selalu menjadi acuannya. Segenap yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, harus dijauhi, dan segenap yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya, harus dipatuhi, Itulah antara lain, menurut Imam Ghazali, bekal-bekal untuk memasuki pembahasan maslah-masalah khilafiyah, agar tidak terjerumus dalam forum jadali(perdebatan yang semata untuk mencari menang dan kepuasan nafsu), yang akhirnya berakibat perpecahan. (Qisthatul Mustaqiim, Tafsir Muhammad Abduh, jilid III, 15).
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu sekalian ke dalam keselamatan (kedamaian) secara utuh, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan, karena dia itu sesungguhnya musuhmu yang nyata.” (QS: al-Baqarah 208).
Sementara Syaikh Muhammad Abduh, dalam mengomentari ayat 153 dan 159 dari surat al-An’am, antara lain mengatakan, “Ayat-ayat ini menjadi hujjah bagi para ulama “Ushul” (baca:Ushul Fiqh) yang berpendapat bahwa haq (kebenaran) itu adalah satu, tidak berbilang. Alangkah baiknya, apabila mereka yang berpegang pada prinsip ini, mewajibkan atas diri mereka, untuk tetap berpadu (sepakat) pada setiap kali mereka menemui perbedaan paham, lalu membahasnya untuk mencari kebenaran, tanpa ta’ashub dan tanpa nifaq, sehingga apabila mereka dapat melihat kebenaran tersebut, mereka akan bersepakat atasnya. Tapi, bila sebagian dari mereka belum dapat melihatnya, mereka harus tetap tekun mencarinya dengan ikhlas, tanpa seorang pun di antara mereka yang memusuhi dan tidak ada pula yang menjadikannya sebagai alat untuk perpecahan. Jalan haq adalah persatuan dan bersserah diri kepada Allah, sedang jalan-jalan syaithan adalah perpecahan dan permusuhan. Hal ini memang telah dimaklumi di kalangan manusia, namun karena kecerdikan syathan dalam merayu dan memikat manusia untuk mengajak kepada jalan-jalan yang ditempuhnya itu, digambarkannya seolah-olah ada keuntungan dan kebaikan dalam perpecahan dan permusuhan, maka pada akhirnya dari kalangan manusia banyak yang terpengaruh ….”
Dengan demikian, kiranya sudah tidak sulit lagi bagi kita, untuk mencari sumber perpecahan secara jujur. Yaitu, karena luputnya keikhlasan hati, sementara ananiyah dan nafsu syaithaniyah datang menggantikannya.
“Maka sudahkah engkau perhatikan, ihwal orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah pun membiarkan dia sesat, walaupun dia tahu bagaiamana jalan yang seharusnya ditempuh.” (QS al-Jaatsiyah, 23).
Bila nafsu syaithaniyah telah menjadi kendali, menjadi acuan yang mesti dituruti, maka segala macam perpecahan, bahkan permusuhan dalam bentuk apa saja bisa terjadi.
Bila ananiyah telah bercokol dalam hati, maka muncullah penyakit riya’, angkuh, ta’ashub, mau benar dan menang sendiri, dan lain sebagainya dari penyakit yang sejenisnya. Selanjutnya, bila riya’ telah terjangkit di kalangan pemimpin dan ulama, sementara ta’ashub juga sudah melanda para pengikut dan umat, maka untuk ruju’ dari kekeliruan menjadi terhalang. Terhalang oleh gengsi dan prestise diri maupun golongan. Mereka lebih suka bertahkim kepada khalayak ramai, kepada jumlah murid dan pengikut masing-masing. Para murid dan pengikut dibiarkan berdebat satu sama lain, di mana saja mereka bertemu sambil membagi-bagi api neraka. Karena perdebatan mereka lebih banyak diwarnai oleh ejekan dan celaan, demi membela dan menegakkan tuah Tuan Guru masing-masing.
Adapun din (Islam) itu sendiri, malah jauh telah tercecer di tengah jalan. Ia tidak lagi dirasakan sebagai milik Allah, akan tetapi seolah-olah sudah menjadi milik dan monopoli masing-masing golongan, untuk melayani kehendak dan kepentingan golongannya masing-masing.
“Sesungguhnya orang-orang yang membagi agama mereka, sehingga menjadi beberapa golongan yang berpisah-pisah, bukanlah engkau Muhammad dari golongan mereka sedikit pun.” (QS. Al-An’am 159).
Jadi bukan ikhtilaf itu sendiri yang menyebabkan timbulnya tafarruq, tapi karena lepasnya keikhlasan dari diri kita, sementara ananiyah dan nafsu syaithaniyah datang bercokol menggantikannya.*
Tulisan diambil dari Majalah Al-Muslimun-271 hlm. 62-65 dan ditulis ulang dengan sedikit penyesuaian bahasa oleh Muhammad Cheng Ho, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
http://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2015/11/03/82644/mohammad-natsis-dan-ikhtilaf.html



Kamis, 23 Juni 2016

Rasyid Ridha, Wahabi, dan Reproduksi Anti-Wahabisme Baru

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

WACANA  mengenai Wahabi sepanjang abad ke-20 hingga sekarang terlihat masih merupakan wacana yang selalu hangat. Penyebabnya pasti bukan semata-mata karena keberadaan ajaran Wahabinya, melainkan karena ajaran ini berkait dengan salah satu aktor politik internasional sepanjang abad ke-20 hingga saat ini, yaitu Kerajaan Saudi Arabia (KSA).

KSA memang secara ideologis menjadikan ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahhab sebagai pegangan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Bukan hanya itu, KSA juga menjadi penyokong paling serius penyebaran ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab ini ke seluruh penjuru dunia.

Karena ideologi sudah berkelindang dengan politik dan kekuasaan, maka adalah wajar bila bersamanya juga muncul beragam fitnah yang sebagian besarnya merupakan kebohongan yang diada-adakan untuk kepentingan politik tertentu. Fitnah-fitnah itupun, walaupun sudah banyak yang diklarifikasi sejak Ibn Abdul Wahhab masih ada terus saja berlangsung hingga sekarang. Bahkan buku-buku yang berisi fitnah itupun terus direproduksi hingga saat ini. Di antara fitnah yang sering dilontarkan kepada Wahabi adalah: takfir terhadap kelompok yang tidak sepaham, melakukan pembunuhan terhadap para ulama, melarang ziarah ke kuburan Nabi, mau menghancurkan kuburan Nabi, bekerja sama dengan Inggris merebut Makkah dan Madinah dari tangan Utsmani, dan sebagainya.

Karena fitnah-fitnah ini sesungguhnya hanya reproduksi ulang sejarah hampir dua abad ke belakang, maka penting untuk mengulas kembali bagaimana tokoh-tokoh pada masa lalu menyikapi fitnah semacam ini. Salah satu yang penting dihadirkan adalah sosok Rasyid Ridha. Ia adalah ideolog bagi gerakan-gerakan pembaharuan Islam di Indonesia awal abad ke-20 sepert Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Pandangannya sesungguhnya berbeda dengan pandangan Muhammad Ibn Abdul Wahab; tapi ia sering dituding sebagai Wahabi-nya Mesir. Tudingan yang sama juga sering dialamatkan kepada gerakan-gerakan modernis Indonesia seperti Muhammadiyah dan Persis.

Bagaimana sesungguhnya pendirian Rasyid Ridha dibandingkan dengan Ibn Abdul Wahab; dan bagaimana sikapnya terhadap gerakan Ibnu Abdul Wahhab sendiri? Dua pertanyaan inilah yang hendak diulas secara singkat dalam tulisan sederhana ini. 

Mazhab Pemikiran Ormas-Ormas Islam Modernis Indonesia

Sudah dimaklumi bahwa isu Wahabi yang tengah ramai dibicarakan saat ini sesungguhnya bukan isu baru.

Isu ini sudah muncul sejak akhir abad ke-19. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, isu ini sampai juga ke kawasan Indonesia, yaitu pada awal abad ke-20. Pada waktu yang sama dengan ramainya isu Wahabi, berdiri pula organisasi-organisasi Islam, baik yang bercorak modernis seperti Muhammadiyah. Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis) maupun yang bercorak tradisional seperti Nahdhatul Ulama, Al-Ittihad Islamiyah, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).

Hadirnya dua kelompok yang memang memiliki latar belakang berbeda dari segi mazhab fikih dan beberapa model gerakan ini tidak ayal ikut semakin meramaikan isu tentang Wahabi di Indonesia. Dalam hal ini gerakan-gerakan modernis seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad sering disebut sebagai “representasi” Wahabi di Indonesia. Ajaran-ajaran yang dibawa ormas ini yang memang tidak sama persis dengan ajaran fikih Mazhab Syafi’i yang telah berkembang sebelumnya di Indonesia menjadi salah satu pemicu kelompok-kelompok modernis ini disebut Wahabi.

Apakah ormas-ormas modernis ini memang memiliki hubungan langsung dengan gerakan Muhammad Ibn Abdul Wahab di Saudi Arabia atau dengan murid-muridnya? Inilah yang sejarah tidak bisa menjawabnya secara positif.

Ormas-ormas modernis ini memang dalam beberapa hal mengritik praktik-praktik keagamaan yang umum dilakukan oleh masyarakat yang bermazhab Syafi’i. Akan tetapi, bila dihubungkan secara langsung dengan gerakan Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahab pasti tidak akan ditemukan jalurnya secara langsung. Kalaupun boleh disebut nama Ahmad Soorkati pendiri Al-Irsyad yang besar di Makkah, namun ia pun tidak secara langsung berhubungan guru-murid dengan Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab. Lalu mengapa ormas-ormas modernis ini sering disebut Wahabi? Jawaban pasti sulit didapat. Hanya dugaan bahwa gerakan-gerakan tradisionalis yang diwakili terutama oleh Nahdhatul Ulama (NU) mungkin ingin menyederhanakan masalah bahwa semua pandangan yang berseberangan dengan mereka dianggap dipengaruhi oleh gerakan Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab.

Mudah-mudahan dugaan ini tidak terlalu tepat. Akan tetapi, kalau memperhatikan secara lebih detil terhadap sejarah pemikiran gerakan-gerakan modernis, memang genealoginya tidak sampai secara langsung kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab.

Gerakan-gerakan modernis ini, bila dilihat dari pengaruh pemikiran, lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Rofermis Mesir Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha.
Hampir semua sejarawan yang meneliti gerakan-gerakan pembaruan Islam awal abad ke-20 menyetujui hal ini seperti Deliar Noer, Howard Federspiel, Harry J. Benda, Alfian, Akh Minhaji, dan yang lainnya. Karakter pemikiran Reformis Mesir ini jelas berbeda dengan karakter pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab, sekalipun irisannya ada.

Di antara perbedaan yang mencolok adalah isu dasar yang digagas. Ibn Abdul Wahhab dalam dakwahnya lebih banyak menggelorakan isu pentingnya purifikasi akidah Islam menuju tauhidyang sejati; membasmi syirik dan bid’ah. Gerakan ini hampir tidak tersentuh agenda politik tertentu. Mereka cenderung menyerahkan masalah politik kepada penguasa yang memberi perlindungan yang dalam hal ini diperankan oleh raja-raja keluarga Saudi. Sementara itu, isu yang diusung oleh gerakan Reformis Mesir adalah isu “Pan-Islam” atau “Persatuan Islam”.

Gagasan inilah yang dikampanyekan Jamaludin Al-Afghani ke mana-mana dan mendapat dukungan intelektual sangat serius dari kawan seperjuangannya Muhammad Abduh yang dipercaya saat itu menjadi Rektor di Universitas Al-Azhar.

Jamaluddin Al-Afghani dikenal getol berkampanye agar kaum Muslim di seluruh dunia bersatu secara politik untuk menghadapi kolonialisme yang saat itu membelenggu dunia Islam.
Sementara itu, Muhammad Abduh secara kreatif mencoba untuk mempersatukan umat Islam secara pemikiran. Ia menulis Risâlah Al-Tauhîd sebagai upaya untuk mempersatukan pandangan kaum Muslim Ahlus-Sunnah dalam masalah akidah yang saat itu tersekat oleh pandangan salaf  dan khalaf. Langkahnya diikuti oleh murid dan koleganya Thohir Al-Jazairi yang menulis risalah Al-Jawahir Al-Kalamiyyah dengan misi yang kurang lebih sama, yaitu menjembatani pemahaman salaf dan khalaf dalam masalah akidah.

Muhammad Ibn Abdul Wahab sesungguhnya termasuk dalam kategori muqallid dalam masalah fikih, yaitu taqlîd terhadap Mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal. Oleh sebab itu, Wahabi termasuk dalam kategori mazhabiyah sama seperti para pengikut mazhab yang lain, baik pengikut Mazhab Syafii’i, Hanafi, maupun Maliki.

Bila di Indonesia umumnya masyarakat mengikuti Mazhab Syafi’i dan gerakan ormas tradisionalis pun mengukuhkan itu, maka karakter yang sama juga dianut oleh Ibn Abdul Wahhab, murid-muridnya, dan juga pengikut-pengikutnya. Tidak mengherankan apabila saat ini, Kerajaan Saudi Arabia (KSA) yang merupakan negara pengikut setia dakwah Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab menjadikan Mazhab Imam Ahmad Ibn Hambal sebagaimazhab resmi negara.

Dalam hal ini, Muhammad Abduh dan murid-muridnya sama sekali berbeda dengan Ibn Abdul Wahhab. Abduh menyerukan persatuan antar-mazhab secara pemikiran dengan menawarkan pendekatan perbandingan mazhab dan tarjih dalam masalah-masalah fikih, bukan taklid terhadap mazhab. Pendekatan ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Bahkan pendekatan ini menjadi pendekatan khas Universitas Al-Azhar dalam pengembangan kajian fikih.
Dalam konteks pemikiran, gerakan-gerakan pembaharuan Islam pada awal abad ke-20 satupun tidak ada yang sepenuhnya mengambil pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab, baik dalam masalah akidah maupun fikih. Gerakan-gerakan ini lebih memilih pendekatan Muhammad Abdud dan Rasyid Ridha yang lebih menekankan pada “persatuan”. Hal ini terlihat dari pendekatan-pendekatan pengajaran akidah dan fikih pada organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad.
Selain itu, karya-karya tulis dalam bidang akidah dan fikih seperti yang banyak dibuat oleh A. Hassan dari Persis juga memperlihatkan pengaruh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho yang sangat kuat. Tidak ada satupun di antara organisasi pembaharu ini yang menyatakan diri bermazhab salaf dan berfikih Hambali. */bersambung Rasyid Ridha dan Sikapnya terhadap Wahabi

Penulis adalah peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan doktor bidang sejarah


Rasyid Ridha, Wahabi, dan Reproduksi Anti-Wahabisme Baru [2]


Bukan hanya pada masa awal kekuasaannya di Hijaz, hingga saat ini Saudi tidak pernah mengganggu kawasan kuburan Nabi. Selain fitnah makam nabi, juga muncul fitnah lain seperti kamar Aisyah akan dihancurkan

Sambungan artikel PERTAMA


Rasyid Ridha dan Sikapnya terhadap Wahabi

Bila secara mendasar ada perbedaan cukup penting antara Muhammad Abdur dan Rasyid Ridha dengan Ibn Abdul Wahhab, lalu bagaimana pandangan Ridha sendiri terhadap Ibnu Abdul Wahhab dan gerakannya? Pandangan dan sikap Ridha terhadap gerakan ini terekam baik dalam salah satu bukunya Al-Wahhabiyyûn wa Al-Hijâz yang terbit tahun 1344 H atau bertepatan dengan tahun 1926 M. Buku ini adalah kumpulan tulisan-tulisannya di Harian Al-Ahram dan Majalah Al-Manâr yang dipimpinnya. Ini berarti tulisan-tulisannya sendiri sudah dibuat sebelum tahun 1926. Kalau melihat angka tahunnya, tulisan-tulisannya sezaman dengan tulisan Ahmad Zaini Dahlan yang sangat terkenal, Al-Durar Al-Sunniyyah fî Radd alâ Al-Wahhabiyyah. Ini juga menunjukkan bahwa tulisan yang dibuat masanya lebih dekat kepada zaman kekisruhan politik yang berujung pada jatuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani dan diambilalihnya Hijaz oleh keluarga Ibnu Sa’ud dari Nejd. Oleh sebab itu, suasana perseteruan politiknya pasti akan dirasakan langsung oleh penulis buku ini.
Dalam buku ini Ridha sampai pada kesimpulan bahwa terjadinya fitnah terhadap gerakan Wahabi, baik sejak awal kemunculannya di Nejd awal abad ke-19 maupun seabad berikutnya awal abad ke-20 ketika keluarga Saudi berhasil menaklukkan Makkah, disebabkan karena dengki politik dari penguasa Makkah saat itu. Berikut kesimpulan paling penting dari Rasyid Ridha berkaitan dengan fitnah terhadap dakwah Ibn Abdul Wahhab.

“Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab adalah pembaharu Islam di negeri Nejd yang berusaha mengembalikan penduduk Nejd dari perbuatan syirik dan bid’ah yang tersebar luas saat itu menuju jalan “tauhid” mengikuti manhaj Ibnu Taimiyyah.

Keberhasilannya yang relatif cepat karena dukungan dan perlindungan dari keluarga Saud. Keluarga Saudi ini sesungguhnya bukan klan yang paling kuat dan paling berpengaruh di Nejd, akan tetapi Allah Subhanahu Wata’ala. menolong mereka karena telah menolong agama-Nya. Dakwah Ibn Abdul Wahab ini di samping mendapatkan keberhasilan, juga tidak sepi dari ujian dan fitnah. Walau begitu, pembelaan terhadap fitnah ini juga diperlihatkan oleh AllahSubhanahu Wata’ala.

Fitnah-fitnah ini umumnya terjadi karena penguasa Makkah yang sering melakukan kerusakan di muka bumi dan berbuat mulhid (pelanggaran agama) di Tanah Haram sejak awal kemunculan dakwah pembaharuan ini telah melakukan penolakan dan perlawanan. Merekalah yang menyebarkan fitnah ke seluruh dunia Islam bahwa dakwah Ibn Abdul Wahab adalah dakwah kufur, bid’ah, dan bertujuan untuk memusuhi kaum Muslimin. Posisi mereka yang berada di Makkah memudahkan untuk menyebarluaskan fitnah ini ke seluruh kaum Muslim. Mereka juga berusaha menghasut Kerajaan Utsmani untuk memerangi keluarga Saudi. Utsmani kemudian meminta bantuan kepada penguasa baru Mesir untuk melakukan pengerangan terhadap Keluarga Saudi.

Dalam tulisan ini kami tidak bermaksud menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu, melainkan ingin menjelaskan dampak yang terjadi akibat kelakuan para penguasa Makkah yang dikenal dengan sebutan “syarif” itu.

Semula Kerajaan Utsmani terhasut sehingga memusuhi Keluarga Saudi selama hampir satu abad, karena berkeyakinan bahwa keluarga Saudi hendak mendirikan kerajaan Arab baru yang kuat yang akan menghapus pengaruh dan kekuasaan Utsmani di kawasan Arab, lalu mereka akan menghancurkan kekhalifahan. Akan tetapi, semua tidak terbukti. Mereka malah mendapatkan keuntungan ketika melakukan kesepakatan dengan Keluarga Saudi dan mengakui kekuasaannya di Nejd dan sekitarnya.

Atas dasar kesepakatan ini, diketahui bahwa permusuhan Utsmani terhadap Keluarga Saudi sebelumnya sama sekali bukan karena alasan agama seperti sangkaan orang-orang jahil.
Sementara itu, para amir Makkah yang dikenal dengan sebutan “syarif” terus saja dalam kesesatan mereka dengan menyebarkan fitnah dan dusta atas dakwah Wahabiyah. Di antara amir yang paling berlebihan dalam memfitnah dan memusuhi Keluarga Saudi adalah Amir Husein Ibn Ali.
Saat Hijaz lepas dari Utsmani dan jatuh ke tangan Inggris, kekuasaan Hijaz seolah-olah sudah berada di tangannya. Ia juga menyangka bahwa Nejd yang dikuasai oleh Keluarga Saudi akan segera jatuh juga ke tangannya. Ia pun semakin gencar melakukan tipu-daya, fitnah, dan provokasi kepada Keluarga Saudi. Akan tetapi, akhirnya justru Hijaz yang dikuasainya berhasil direbut oleh Abdul Aziz Ibn Saud hingga kawasan ini dapat diselamatkan dari thoghut yang menggelari dirinya sebagai “penyelamat” ini dan keturunannya.” (Al-Wahhabiyyûn wa Al-Hijâzyang terbit tahun 1344 H, hal. 6-7)

Melalui pernyataannya ini, terlihat Rasyid Ridho berkesimpulan bahwa munculnya fitnah-fitnah terhadap dakwah Muhammad ibn Abdul Wahab terutama bermula dari kekhawatiran politik terhadap semakin menguatnya kekuasaan Keluarga Saudi di Jazirah Arab. Ketika penguasa ini menjadi penyokong penuh dakwah Wahabi, yang disokongnya pun tidak luput dari fitnah. Apalagi memfitnah ajaran agama sebagai sesat, bid’ah, dan kafir lebih menjual daripada melakukan fitnah politik yang bisa jadi tidak akan terlalu mendapat perhatian masyarakat.

Kesimpulan ini tentu saja harus dibuktikan oleh Ridha.

Pertama, ia membuktikan bahwa akidah yang dipegang dan diyakini oleh Muhammad ibn Abdul Wahab sama sekali bukan akidah baru. Akidahnya adalah juga akidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah dengan menggunakan manhaj Ibnu Taimiyah yang telah dikenal luas sebelumnya di dunia Islam. Tidak ada yang menyangkal keulamaan Ibnu Taimiyah, apalagi membid’ahkan pemikirannya, sekalipun dalam beberapa hal pemikirannya banyak tidak disetujui sebagian kalangan. Akan tetapi, perbedaan pandangan di kalangan ulama sejak lama memang sering terjadi. Hal itu sudah merupakan kebiasaan yang tidak pernah menggugurkan keulamaan seseorang. Apalagi Ibnu Taimiyyah banyak yang menilai sudah layak menjadi mujtahid mustaqil atau mujtahid mutlaq yang boleh menjadi anutan mazhab mandiri. Oleh sebab itu, mengikuti mazhab Ibnu Taimiyyah adalah sesuatu yang sah dan wajar, bukan penyimpangan dan bid’ah. Tuduhan-tuduhan bahwa Ibn Abdul Wahhab mengkafirkan orang yang berseberangan dengannya dan lainnya dibantah sendiri oleh yang bersangkutan dalam kitabnya Al-Hadiyyah Al-Saniyyah wa Al-Tuhfah Al-Wahhabiyyah Al-Najdiyyah. 

Kedua, dari sudut pandang politik tindakan Keluarga Saudi mengambil alih Hijaz telah tepat. Saat itu Hijaz berada di bawah Inggris, karena menjadi wilayah yang dimenangkan Inggris ketika Utsmani kalah perang. Saat jatuh ke tangan Inggris, Syarif Husein malah memanfaatkan untuk kepentingan ambisi kekuasaannya. Ia mengklaim diri sebagai kekhalifahan baru yang sah yang seluruh kaum Muslim wajib berbaiat kepadanya. Siapa yang tidak berbaiat dianggapkhawarij dan sah untuk diperangi. Ia bahkan berani mengafirkan orang-orang yang tidak mau berbaiat pada kekuasaannya. Syarif Husein juga berusaha sekuat tenaga agar wilayah Nejd yang dikuasi Keluarga Saudi agar masuk menjadi bagian dari kekuasaannya. Beberapa kali ia berusaha melakukan penyerangan dengan meminta bantuan kepada Inggris untuk mengambil alih Nejd dari tangan Keluarga Saudi.
Ketiga, karena persekongkolan Syarif Husein dengan Inggris ditambah usahanya untuk merebut Nejd itulah yang menyebabkan Keluarga Saudi berada pada posisi yang benar secara politik. Nejd yang kemudian memukul balik Syarif Husein dan melalui berbagai perundingan akhirnya mendapatkan kawasan Hijaz dianggap oleh Ridha telah berhasil menyelamatkan Tanah Haram dari cengkeraman kaum kafir Inggris.

Lagi pula raja yang memegang kekuasaannya adalah raja yang dianggap oleh Ridha sangat serius dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam di negara barunya. Raju baru ini juga berhasil untuk sementara waktu melindungi kota terpenting bagi kaum Muslimin.

Dari analisis politik di atas terlihat bahwa sebetulnya yang banyak menjadi incaran adalah penguasa pendukung dakwah Ibn Abdul Wahab, yaitu Keluarga Saudi. Keluarga ini juga yang mendapat fitnah lanjutan setelah berhasil menguasai kawasan Tanah Haram, Makkah dan Madinah.
Ridha menunjukkan contoh tuduhan bahwa rezim baru ini akan menghancurkan makam NabiShalallahu ‘Alaihi Wassallam karena berada di lingkungan Masjid Nabawi.
Walaupun dalam masalah agama ini  bukan hal yang mendasar, tetapi justru menjadi fitnah baru yang sangat laku ditimpakan kepada pengikut Ibn Abdul Wahhab ini. Kenyataannya apa yang dituduhkan itu benar-benar hanya fitnah.

Ridha saat itu memastikan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan oleh penguasa Hijaz yang baru ini. Sebab, tidak ada alasan syar’i apapun untuk menghancurkan kuburan NabiShalallahu ‘Alaihi Wassallam. Kalaupun ada larangan menjadi kuburan sebagai mesjid, kasusnya sangat berbeda dengan kuburan Nabi. Kuburan Nabi walaupun berada di kompleks Masjid Nabawi saat itu, sama sekali tidak dijadikan masjid. Kawasan makam Nabi bersama Umar ibn Khattab dipisahkan dengan dinding khusus yang menandai bahwa kawasan itu bukan kawasan mesjid. Bukan hanya pada masa awal kekuasaannya di Hijaz, bahkan hingga saat ini Keluarga Saudi tidak pernah mengganggu kawasan pekuburan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Selain fitnah itu juga muncul fitnah lain seperti kamar Aisyah akan dihancurkan dan semisalnya. Atas semua tuduhan itu, Ridha menunjukkan bahwa semuanya fitnah belaka.

Bila memperhatikan pembelaan penuh Rasyid Ridha terhadap Keluarga Saudi dan gerakan dakwah Muhammad ibn Abdul Wahab, maka siapapun akan mengatakan bahwa Ridha adalah pengikut dan antek Wahabi. Mungkin ini juga yang menyebabkan siapa saja yang terpengaruh oleh pemikiran Rasyid Ridha seperti Muhammadiyah dan Persis di Indonesia dengan mudahnya disebut sebagai “Wahabi”. Padahal, Rasyid Ridha justru hanya melihat masalah Wahabi ini sebagai fitnah yang di belakangnya terdapat kepentingan politik yang sangat kental. Semantara dari segi ajaran, Ridha melihatnya sebagai satu varian pemikiran biasa yang merupakan bagian dari dinamika pemikiran umat Islam.

Sekalipun dari segi politik ia sangat membela Wahabi, namun dari segi pemikiran ia justru berbeda yang pokok perbedaannya telah dijelaskan di atas. Oleh karena itu, murid-murid penerus dakwah Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab generasi sesudah Rasyid Ridha justru malah mencela Rasyid Ridha.

Ridha bersama gurunya, Muhammad Abduh, dianggap memiliki pendekatan yang terlampau rasionalis (aqlaniyyah) yang dianggap tidak tepat menurut manhaj salaf yang mereka pahami. Ia bersama dua gurunya Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh dianggap yang paling bertanggung jawab atas tumbuhnya mazhab rasionalis di dunia Islam setelahnya. Anggapan ini hampir umum diketahui oleh mereka yang menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad ibn Abdul Wahab saat ini; atau yang lebih sering disebut sebagai “salafi”. * bersambung

http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2016/06/08/96120/rasyid-ridha-wahabi-dan-reproduksi-anti-wahabisme-baru-2.html