Oleh: Tiar
Anwar Bachtiar
WACANA mengenai Wahabi sepanjang abad ke-20 hingga sekarang terlihat masih
merupakan wacana yang selalu hangat. Penyebabnya pasti bukan semata-mata karena
keberadaan ajaran Wahabinya, melainkan karena ajaran ini berkait dengan salah
satu aktor politik internasional sepanjang abad ke-20 hingga saat ini, yaitu
Kerajaan Saudi Arabia (KSA).
KSA
memang secara ideologis menjadikan ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahhab
sebagai pegangan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Bukan hanya itu,
KSA juga menjadi penyokong paling serius penyebaran ajaran-ajaran Muhammad ibn
Abdul Wahab ini ke seluruh penjuru dunia.
Karena
ideologi sudah berkelindang dengan politik dan kekuasaan, maka adalah wajar
bila bersamanya juga muncul beragam fitnah yang sebagian besarnya merupakan
kebohongan yang diada-adakan untuk kepentingan politik tertentu. Fitnah-fitnah
itupun, walaupun sudah banyak yang diklarifikasi sejak Ibn Abdul Wahhab masih
ada terus saja berlangsung hingga sekarang. Bahkan buku-buku yang berisi fitnah
itupun terus direproduksi hingga saat ini. Di antara fitnah yang sering
dilontarkan kepada Wahabi adalah: takfir terhadap
kelompok yang tidak sepaham, melakukan pembunuhan terhadap para ulama, melarang
ziarah ke kuburan Nabi, mau menghancurkan kuburan Nabi, bekerja sama dengan
Inggris merebut Makkah dan Madinah dari tangan Utsmani, dan sebagainya.
Karena
fitnah-fitnah ini sesungguhnya hanya reproduksi ulang sejarah hampir dua abad
ke belakang, maka penting untuk mengulas kembali bagaimana tokoh-tokoh pada
masa lalu menyikapi fitnah semacam ini. Salah satu yang penting dihadirkan
adalah sosok Rasyid Ridha. Ia adalah ideolog bagi gerakan-gerakan pembaharuan
Islam di Indonesia awal abad ke-20 sepert Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis.
Pandangannya sesungguhnya berbeda dengan pandangan Muhammad Ibn Abdul Wahab;
tapi ia sering dituding sebagai Wahabi-nya Mesir. Tudingan yang sama juga
sering dialamatkan kepada gerakan-gerakan modernis Indonesia seperti
Muhammadiyah dan Persis.
Bagaimana
sesungguhnya pendirian Rasyid Ridha dibandingkan dengan Ibn Abdul Wahab; dan
bagaimana sikapnya terhadap gerakan Ibnu Abdul Wahhab sendiri? Dua pertanyaan
inilah yang hendak diulas secara singkat dalam tulisan sederhana ini.
Mazhab Pemikiran Ormas-Ormas Islam
Modernis Indonesia
Sudah
dimaklumi bahwa isu Wahabi yang tengah ramai dibicarakan saat ini sesungguhnya
bukan isu baru.
Isu
ini sudah muncul sejak akhir abad ke-19. Dalam kurun waktu yang hampir
bersamaan, isu ini sampai juga ke kawasan Indonesia, yaitu pada awal abad
ke-20. Pada waktu yang sama dengan ramainya isu Wahabi, berdiri pula
organisasi-organisasi Islam, baik yang bercorak modernis seperti Muhammadiyah.
Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis) maupun yang bercorak tradisional
seperti Nahdhatul Ulama, Al-Ittihad Islamiyah, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(Perti).
Hadirnya
dua kelompok yang memang memiliki latar belakang berbeda dari segi mazhab fikih
dan beberapa model gerakan ini tidak ayal ikut semakin meramaikan isu tentang
Wahabi di Indonesia. Dalam hal ini gerakan-gerakan modernis seperti
Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad sering disebut sebagai “representasi”
Wahabi di Indonesia. Ajaran-ajaran yang dibawa ormas ini yang memang tidak sama
persis dengan ajaran fikih Mazhab Syafi’i yang telah berkembang sebelumnya di
Indonesia menjadi salah satu pemicu kelompok-kelompok modernis ini disebut
Wahabi.
Apakah
ormas-ormas modernis ini memang memiliki hubungan langsung dengan gerakan
Muhammad Ibn Abdul Wahab di Saudi Arabia atau dengan murid-muridnya? Inilah
yang sejarah tidak bisa menjawabnya secara positif.
Ormas-ormas
modernis ini memang dalam beberapa hal mengritik praktik-praktik keagamaan yang
umum dilakukan oleh masyarakat yang bermazhab Syafi’i. Akan tetapi, bila
dihubungkan secara langsung dengan gerakan Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahab
pasti tidak akan ditemukan jalurnya secara langsung. Kalaupun boleh disebut
nama Ahmad Soorkati pendiri Al-Irsyad yang besar di Makkah, namun ia pun tidak
secara langsung berhubungan guru-murid dengan Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab.
Lalu mengapa ormas-ormas modernis ini sering disebut Wahabi? Jawaban pasti
sulit didapat. Hanya dugaan bahwa gerakan-gerakan tradisionalis yang diwakili
terutama oleh Nahdhatul Ulama (NU) mungkin ingin menyederhanakan masalah bahwa
semua pandangan yang berseberangan dengan mereka dianggap dipengaruhi oleh
gerakan Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab.
Mudah-mudahan
dugaan ini tidak terlalu tepat. Akan tetapi, kalau memperhatikan secara lebih
detil terhadap sejarah pemikiran gerakan-gerakan modernis, memang genealoginya
tidak sampai secara langsung kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab.
Gerakan-gerakan
modernis ini, bila dilihat dari pengaruh pemikiran, lebih banyak dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran Rofermis Mesir Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid
Ridha.
Hampir
semua sejarawan yang meneliti gerakan-gerakan pembaruan Islam awal abad ke-20
menyetujui hal ini seperti Deliar Noer, Howard Federspiel, Harry J. Benda,
Alfian, Akh Minhaji, dan yang lainnya. Karakter pemikiran Reformis Mesir ini
jelas berbeda dengan karakter pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab, sekalipun
irisannya ada.
Di
antara perbedaan yang mencolok adalah isu dasar yang digagas. Ibn Abdul Wahhab
dalam dakwahnya lebih banyak menggelorakan isu pentingnya purifikasi akidah
Islam menuju tauhidyang sejati; membasmi syirik dan bid’ah.
Gerakan ini hampir tidak tersentuh agenda politik tertentu. Mereka cenderung
menyerahkan masalah politik kepada penguasa yang memberi perlindungan yang
dalam hal ini diperankan oleh raja-raja keluarga Saudi. Sementara itu, isu yang
diusung oleh gerakan Reformis Mesir adalah isu “Pan-Islam” atau “Persatuan
Islam”.
Gagasan
inilah yang dikampanyekan Jamaludin Al-Afghani ke mana-mana dan mendapat
dukungan intelektual sangat serius dari kawan seperjuangannya Muhammad Abduh
yang dipercaya saat itu menjadi Rektor di Universitas Al-Azhar.
Jamaluddin
Al-Afghani dikenal getol berkampanye agar kaum Muslim di seluruh dunia bersatu
secara politik untuk menghadapi kolonialisme yang saat itu membelenggu dunia
Islam.
Sementara
itu, Muhammad Abduh secara kreatif mencoba untuk mempersatukan umat Islam
secara pemikiran. Ia menulis Risâlah Al-Tauhîd sebagai upaya untuk
mempersatukan pandangan kaum Muslim Ahlus-Sunnah dalam masalah akidah yang saat
itu tersekat oleh pandangan salaf dan khalaf. Langkahnya diikuti oleh murid dan
koleganya Thohir Al-Jazairi yang menulis risalah Al-Jawahir
Al-Kalamiyyah dengan
misi yang kurang lebih sama, yaitu menjembatani pemahaman salaf dan khalaf dalam masalah akidah.
Muhammad
Ibn Abdul Wahab sesungguhnya termasuk dalam kategori muqallid dalam masalah fikih, yaitu taqlîd terhadap Mazhab Imam Ahmad Ibn
Hanbal. Oleh sebab itu, Wahabi termasuk dalam kategori mazhabiyah sama seperti para pengikut mazhab yang
lain, baik pengikut Mazhab Syafii’i, Hanafi, maupun Maliki.
Bila
di Indonesia umumnya masyarakat mengikuti Mazhab Syafi’i dan gerakan ormas
tradisionalis pun mengukuhkan itu, maka karakter yang sama juga dianut oleh Ibn
Abdul Wahhab, murid-muridnya, dan juga pengikut-pengikutnya. Tidak mengherankan
apabila saat ini, Kerajaan Saudi Arabia (KSA) yang merupakan negara pengikut
setia dakwah Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab menjadikan Mazhab Imam Ahmad Ibn
Hambal sebagaimazhab resmi negara.
Dalam
hal ini, Muhammad Abduh dan murid-muridnya sama sekali berbeda dengan Ibn Abdul
Wahhab. Abduh menyerukan persatuan antar-mazhab secara pemikiran dengan
menawarkan pendekatan perbandingan mazhab dan tarjih dalam masalah-masalah
fikih, bukan taklid terhadap mazhab. Pendekatan ini kemudian dikembangkan oleh
muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Bahkan pendekatan ini menjadi pendekatan khas
Universitas Al-Azhar dalam pengembangan kajian fikih.
Dalam
konteks pemikiran, gerakan-gerakan pembaharuan Islam pada awal abad ke-20
satupun tidak ada yang sepenuhnya mengambil pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab,
baik dalam masalah akidah maupun fikih. Gerakan-gerakan ini lebih memilih
pendekatan Muhammad Abdud dan Rasyid Ridha yang lebih menekankan pada
“persatuan”. Hal ini terlihat dari pendekatan-pendekatan pengajaran akidah dan
fikih pada organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad.
Selain
itu, karya-karya tulis dalam bidang akidah dan fikih seperti yang banyak dibuat
oleh A. Hassan dari Persis juga memperlihatkan pengaruh Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridho yang sangat kuat. Tidak ada satupun di antara organisasi pembaharu
ini yang menyatakan diri bermazhab salaf dan
berfikih Hambali. */bersambung Rasyid Ridha dan
Sikapnya terhadap Wahabi
Penulis adalah peneliti Institute
for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan doktor bidang
sejarah
Rasyid Ridha, Wahabi, dan Reproduksi
Anti-Wahabisme Baru [2]
Bukan hanya pada masa awal
kekuasaannya di Hijaz, hingga saat ini Saudi tidak pernah mengganggu kawasan
kuburan Nabi. Selain fitnah makam nabi, juga muncul fitnah lain seperti kamar
Aisyah akan dihancurkan
Rasyid Ridha dan Sikapnya terhadap Wahabi
Bila secara mendasar ada
perbedaan cukup penting antara Muhammad Abdur dan Rasyid Ridha dengan Ibn Abdul
Wahhab, lalu bagaimana pandangan Ridha sendiri terhadap Ibnu Abdul Wahhab dan
gerakannya? Pandangan dan sikap Ridha terhadap gerakan ini terekam baik dalam
salah satu bukunya Al-Wahhabiyyûn wa Al-Hijâz yang terbit tahun 1344 H atau
bertepatan dengan tahun 1926 M. Buku ini adalah kumpulan tulisan-tulisannya di
Harian Al-Ahram dan Majalah Al-Manâr yang dipimpinnya. Ini berarti
tulisan-tulisannya sendiri sudah dibuat sebelum tahun 1926. Kalau melihat angka
tahunnya, tulisan-tulisannya sezaman dengan tulisan Ahmad Zaini Dahlan yang
sangat terkenal, Al-Durar Al-Sunniyyah fî Radd alâ
Al-Wahhabiyyah. Ini
juga menunjukkan bahwa tulisan yang dibuat masanya lebih dekat kepada zaman
kekisruhan politik yang berujung pada jatuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani dan
diambilalihnya Hijaz oleh keluarga Ibnu Sa’ud dari Nejd. Oleh sebab itu,
suasana perseteruan politiknya pasti akan dirasakan langsung oleh penulis buku
ini.
Dalam buku ini Ridha sampai
pada kesimpulan bahwa terjadinya fitnah terhadap gerakan Wahabi, baik sejak
awal kemunculannya di Nejd awal abad ke-19 maupun seabad berikutnya awal abad
ke-20 ketika keluarga Saudi berhasil menaklukkan Makkah, disebabkan karena dengki
politik dari penguasa Makkah saat itu. Berikut kesimpulan paling penting dari
Rasyid Ridha berkaitan dengan fitnah terhadap dakwah Ibn Abdul Wahhab.
“Syeikh Muhammad ibn Abdul
Wahab adalah pembaharu Islam di negeri Nejd yang berusaha mengembalikan penduduk
Nejd dari perbuatan syirik dan bid’ah yang tersebar luas saat itu menuju jalan
“tauhid” mengikuti manhaj Ibnu Taimiyyah.
Keberhasilannya yang relatif
cepat karena dukungan dan perlindungan dari keluarga Saud. Keluarga Saudi ini
sesungguhnya bukan klan yang paling kuat dan paling berpengaruh di Nejd, akan
tetapi Allah Subhanahu Wata’ala. menolong mereka karena telah menolong
agama-Nya. Dakwah Ibn Abdul Wahab ini di samping mendapatkan keberhasilan, juga
tidak sepi dari ujian dan fitnah. Walau begitu, pembelaan terhadap fitnah ini
juga diperlihatkan oleh AllahSubhanahu
Wata’ala.
Fitnah-fitnah ini umumnya
terjadi karena penguasa Makkah yang sering melakukan kerusakan di muka bumi dan
berbuat mulhid (pelanggaran
agama) di Tanah Haram sejak awal kemunculan dakwah pembaharuan ini telah
melakukan penolakan dan perlawanan. Merekalah yang menyebarkan fitnah ke
seluruh dunia Islam bahwa dakwah Ibn Abdul Wahab adalah dakwah kufur, bid’ah,
dan bertujuan untuk memusuhi kaum Muslimin. Posisi mereka yang berada di Makkah
memudahkan untuk menyebarluaskan fitnah ini ke seluruh kaum Muslim. Mereka juga
berusaha menghasut Kerajaan Utsmani untuk memerangi keluarga Saudi. Utsmani
kemudian meminta bantuan kepada penguasa baru Mesir untuk melakukan pengerangan
terhadap Keluarga Saudi.
Dalam tulisan ini kami tidak
bermaksud menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu, melainkan ingin
menjelaskan dampak yang terjadi akibat kelakuan para penguasa Makkah yang
dikenal dengan sebutan “syarif” itu.
Semula Kerajaan Utsmani
terhasut sehingga memusuhi Keluarga Saudi selama hampir satu abad, karena
berkeyakinan bahwa keluarga Saudi hendak mendirikan kerajaan Arab baru yang
kuat yang akan menghapus pengaruh dan kekuasaan Utsmani di kawasan Arab, lalu
mereka akan menghancurkan kekhalifahan. Akan tetapi, semua tidak terbukti.
Mereka malah mendapatkan keuntungan ketika melakukan kesepakatan dengan
Keluarga Saudi dan mengakui kekuasaannya di Nejd dan sekitarnya.
Atas dasar kesepakatan ini,
diketahui bahwa permusuhan Utsmani terhadap Keluarga Saudi sebelumnya sama
sekali bukan karena alasan agama seperti sangkaan orang-orang jahil.
Sementara itu, para amir Makkah yang dikenal dengan sebutan “syarif” terus saja dalam kesesatan mereka
dengan menyebarkan fitnah dan dusta atas dakwah Wahabiyah. Di antara amir yang paling berlebihan dalam
memfitnah dan memusuhi Keluarga Saudi adalah Amir Husein Ibn Ali.
Saat Hijaz lepas dari
Utsmani dan jatuh ke tangan Inggris, kekuasaan Hijaz seolah-olah sudah berada
di tangannya. Ia juga menyangka bahwa Nejd yang dikuasai oleh Keluarga Saudi
akan segera jatuh juga ke tangannya. Ia pun semakin gencar melakukan tipu-daya,
fitnah, dan provokasi kepada Keluarga Saudi. Akan tetapi, akhirnya justru Hijaz
yang dikuasainya berhasil direbut oleh Abdul Aziz Ibn Saud hingga kawasan ini
dapat diselamatkan dari thoghut yang
menggelari dirinya sebagai “penyelamat” ini dan keturunannya.” (Al-Wahhabiyyûn wa Al-Hijâzyang terbit tahun
1344 H, hal. 6-7)
Melalui pernyataannya ini,
terlihat Rasyid Ridho berkesimpulan bahwa munculnya fitnah-fitnah terhadap
dakwah Muhammad ibn Abdul Wahab terutama bermula dari kekhawatiran politik
terhadap semakin menguatnya kekuasaan Keluarga Saudi di Jazirah Arab. Ketika
penguasa ini menjadi penyokong penuh dakwah Wahabi, yang disokongnya pun tidak
luput dari fitnah. Apalagi memfitnah ajaran agama sebagai sesat, bid’ah, dan
kafir lebih menjual daripada melakukan fitnah politik yang bisa jadi tidak akan
terlalu mendapat perhatian masyarakat.
Kesimpulan ini tentu saja
harus dibuktikan oleh Ridha.
Pertama, ia membuktikan bahwa akidah
yang dipegang dan diyakini oleh Muhammad ibn Abdul Wahab sama sekali bukan
akidah baru. Akidahnya adalah juga akidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah dengan menggunakan manhaj Ibnu Taimiyah yang telah dikenal luas
sebelumnya di dunia Islam. Tidak ada yang menyangkal keulamaan Ibnu Taimiyah,
apalagi membid’ahkan pemikirannya, sekalipun dalam beberapa hal pemikirannya
banyak tidak disetujui sebagian kalangan. Akan tetapi, perbedaan pandangan di
kalangan ulama sejak lama memang sering terjadi. Hal itu sudah merupakan
kebiasaan yang tidak pernah menggugurkan keulamaan seseorang. Apalagi Ibnu
Taimiyyah banyak yang menilai sudah layak menjadi mujtahid
mustaqil atau mujtahid
mutlaq yang boleh
menjadi anutan mazhab mandiri.
Oleh sebab itu, mengikuti mazhab Ibnu
Taimiyyah adalah sesuatu yang sah dan wajar, bukan penyimpangan dan bid’ah.
Tuduhan-tuduhan bahwa Ibn Abdul Wahhab mengkafirkan orang yang berseberangan
dengannya dan lainnya dibantah sendiri oleh yang bersangkutan dalam kitabnya Al-Hadiyyah
Al-Saniyyah wa Al-Tuhfah Al-Wahhabiyyah Al-Najdiyyah.
Kedua, dari sudut pandang politik
tindakan Keluarga Saudi mengambil alih Hijaz telah tepat. Saat itu Hijaz berada
di bawah Inggris, karena menjadi wilayah yang dimenangkan Inggris ketika
Utsmani kalah perang. Saat jatuh ke tangan Inggris, Syarif Husein malah
memanfaatkan untuk kepentingan ambisi kekuasaannya. Ia mengklaim diri sebagai
kekhalifahan baru yang sah yang seluruh kaum Muslim wajib berbaiat kepadanya.
Siapa yang tidak berbaiat dianggapkhawarij dan sah untuk diperangi. Ia bahkan
berani mengafirkan orang-orang yang tidak mau berbaiat pada kekuasaannya.
Syarif Husein juga berusaha sekuat tenaga agar wilayah Nejd yang dikuasi
Keluarga Saudi agar masuk menjadi bagian dari kekuasaannya. Beberapa kali ia
berusaha melakukan penyerangan dengan meminta bantuan kepada Inggris untuk
mengambil alih Nejd dari tangan Keluarga Saudi.
Ketiga, karena persekongkolan Syarif
Husein dengan Inggris ditambah usahanya untuk merebut Nejd itulah yang
menyebabkan Keluarga Saudi berada pada posisi yang benar secara politik. Nejd
yang kemudian memukul balik Syarif Husein dan melalui berbagai perundingan
akhirnya mendapatkan kawasan Hijaz dianggap oleh Ridha telah berhasil
menyelamatkan Tanah Haram dari cengkeraman kaum kafir Inggris.
Lagi pula raja yang memegang
kekuasaannya adalah raja yang dianggap oleh Ridha sangat serius dalam
melaksanakan ajaran-ajaran Islam di negara barunya. Raju baru ini juga berhasil
untuk sementara waktu melindungi kota terpenting bagi kaum Muslimin.
Dari analisis politik di
atas terlihat bahwa sebetulnya yang banyak menjadi incaran adalah penguasa
pendukung dakwah Ibn Abdul Wahab, yaitu Keluarga Saudi. Keluarga ini juga yang
mendapat fitnah lanjutan setelah berhasil menguasai kawasan Tanah Haram, Makkah
dan Madinah.
Ridha menunjukkan contoh
tuduhan bahwa rezim baru ini akan menghancurkan makam NabiShalallahu
‘Alaihi Wassallam karena
berada di lingkungan Masjid Nabawi.
Walaupun dalam masalah agama
ini bukan hal yang mendasar, tetapi justru menjadi fitnah baru yang
sangat laku ditimpakan kepada pengikut Ibn Abdul Wahhab ini. Kenyataannya apa
yang dituduhkan itu benar-benar hanya fitnah.
Ridha saat itu memastikan
bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan oleh penguasa Hijaz yang baru ini. Sebab,
tidak ada alasan syar’i apapun untuk menghancurkan kuburan NabiShalallahu ‘Alaihi Wassallam. Kalaupun ada
larangan menjadi kuburan sebagai mesjid, kasusnya sangat berbeda dengan kuburan
Nabi. Kuburan Nabi walaupun berada di kompleks Masjid Nabawi saat itu, sama
sekali tidak dijadikan masjid. Kawasan makam Nabi bersama Umar ibn Khattab
dipisahkan dengan dinding khusus yang menandai bahwa kawasan itu bukan kawasan
mesjid. Bukan hanya pada masa awal kekuasaannya di Hijaz, bahkan hingga saat
ini Keluarga Saudi tidak pernah mengganggu kawasan pekuburan Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wassallam. Selain fitnah itu juga muncul fitnah lain seperti kamar
Aisyah akan dihancurkan dan semisalnya. Atas semua tuduhan itu, Ridha
menunjukkan bahwa semuanya fitnah belaka.
Bila memperhatikan pembelaan
penuh Rasyid Ridha terhadap Keluarga Saudi dan gerakan dakwah Muhammad ibn
Abdul Wahab, maka siapapun akan mengatakan bahwa Ridha adalah pengikut dan
antek Wahabi. Mungkin ini juga yang menyebabkan siapa saja yang terpengaruh
oleh pemikiran Rasyid Ridha seperti Muhammadiyah dan Persis di Indonesia dengan
mudahnya disebut sebagai “Wahabi”. Padahal, Rasyid Ridha justru hanya melihat
masalah Wahabi ini sebagai fitnah yang di belakangnya terdapat kepentingan
politik yang sangat kental. Semantara dari segi ajaran, Ridha melihatnya
sebagai satu varian pemikiran biasa yang merupakan bagian dari dinamika
pemikiran umat Islam.
Sekalipun dari segi politik
ia sangat membela Wahabi, namun dari segi pemikiran ia justru berbeda yang
pokok perbedaannya telah dijelaskan di atas. Oleh karena itu, murid-murid
penerus dakwah Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab generasi sesudah Rasyid Ridha
justru malah mencela Rasyid Ridha.
Ridha bersama gurunya,
Muhammad Abduh, dianggap memiliki pendekatan yang terlampau rasionalis (aqlaniyyah) yang dianggap tidak tepat
menurut manhaj salaf yang
mereka pahami. Ia bersama dua gurunya Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh
dianggap yang paling bertanggung jawab atas tumbuhnya mazhab rasionalis di
dunia Islam setelahnya. Anggapan ini hampir umum diketahui oleh mereka yang
menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad ibn Abdul Wahab saat ini; atau yang
lebih sering disebut sebagai “salafi”. * bersambung
http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2016/06/08/96120/rasyid-ridha-wahabi-dan-reproduksi-anti-wahabisme-baru-2.html