Senin, 29 Februari 2016

Kotak Sunni, Kotak Syiah, Tinggalkan Kotak

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Jika dihitung sejak tahun 657 M, saat Perang Shiffin berkecamuk, yang kemudian menciptakan kotak-kotak polarisasi umat Islam sampai sekarang, berarti sudah berlangsung 1.359 tahun sejarah Muslim terpasung dalam kotakkotak politik akibat ulah perseteruan elite Arab Muslim itu.

Suniisme, Syi’iisme, plus Kharijisme seolah telah menjadi sesembahan baru bagi dunia Islam dengan “memaksa” Tuhan berpihak kepada kotak-kotak itu. Alangkah cerobohnya sikap yang serupa ini, tetapi tetap saja tidak disadari. Umat Islam sedunia selama puluhan abad telah terseret oleh sengketa elit Arab itu.

Pertanyaannya adalah mengapa mereka tidak merasa ditipu oleh kotak-kotak yang tidak ada kaitannya dengan Alquran dan Nabi Muhammad SAW itu? Kesadaran sejarah umat Islam amatlah lemah, termasuk saya, padahal sudah mengalami kajian tingkat tinggi.

Sewaktu mengambil program S3 dalam pemikiran Islam di Universitas Chicago, 1979-1982, saya juga belum sadar bahwa kotak-kotak itu adalah sumber bencana yang bertanggung jawab bagi hancurnya persaudaraan umat beriman yang demikian tegas dan gamblang diajarkan Alquran. Dalam perjalanan waktu dengan usia yang semakin menua, saya sampai kepada sebuah kesimpulan: jika umat Islam mau menata kehidupan kolektifnya secara benar berdasarkan agama, tidak ada jalan lain, kecuali kotak-kotak pemicu perbelahan itu harus ditinggalkan sekali dan untuk selama-lamanya.

Selama Al-Quran dan Sunah nabi yang sahih selalu dijadikan pedoman utama,  tidak ada yang harus dicemaskan jika kita semua siap mengucapkan selamat tinggal kepada kotak-kotak penuh darah dan dendam kesumat itu. Ketegangan hubungan antara Iran dan Arab Saudi sekarang ini tidak bisa dipisahkan dari kotak-kotak itu, sekalipun nasionalisme juga merupakan faktor penting.

Adalah nonsens jika kedua pihak berpegang kepada agama dalam makna yang benar. Agama dipakai hanyalah sebatas retorika politik untuk tujuan duniawi. Fenomena semacam ini telah berlaku berkali-kali sepanjang sejarah Muslim. Adapun sikap para aktivis yang membela pihak-pihak yang bersengketa dengan dalil-dalil agama, bagi saya, boleh jadi karena sekrup ubun-ubunnya lagi longgar, terlepas dari kawalan wahyu.

Penganut Sunnisme, penganut Syiahisme, penganut Kharijisme, yang seluruhnya bercorak Arab itu dengan klaim kebenaran masing-masing semestinya mau bercermin dengan cerdas dan tulus kepada realitas umat yang terkapar berkalikali dalam berbagai tikungan sejarah yang menyengsarakan. Saya sungguh gagal memahami mengapa berhala suniisme, syi’iisme, kharijisme masih saja dijadikan Tuhan oleh mayoritas umat Islam di muka bumi hingga sekarang ini.

Ada apa dengan otak kita, ada apa dengan hati kita? Atau Al-Quran mari kita buang sama sekali dan kita menjadi umat yang tuna identitas? Coba simak baik-baik makna ayat ini, “Dan Rasul berkata, ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Alquran ini menjadi sesuatu yang tidak dihiraukan’.” ( QS al-Furqan  [25]: 30).

Saya khawatir bahwa ayat ini tidak hanya dialamatkan kepada kafir Quraisy sebagaimana dipahami oleh hampir semua mufasir, tetapi juga kepada siapa saja yang tidak lagi menjadikan Alquran sebagai pedoman pertama dan utama dalam mengatur kehidupan kolektif mereka, seperti yang kita derita sekarang ini.

Ajaibnya, umat yang tercabik selama berabad-abad itu telah mengidap amnesia kolektif tentang bencana sejarah itu. Mungkin sudah ratusan ribu halaman buku yang ditulis oleh masing masing-masing pihak untuk membela keberadaan kotak-kotak yang menyesatkan itu dengan dalil-dalil agama yang terlepas dari benang merah Al-Quran.
Sekiranya kesadaran keagamaan saya sudah berada pada tingkat seperti sekarang ini puluhan tahun yang lalu, saya akan perdebatkan masalah penting ini dengan almarhum Fazlur Rahman (guru saya di Chicago); dengan almarhum H Agus Salim, pemikir Muslim Indonesia; dengan almarhum Hamka, mufasir yang banyak mengilhami cara berpikir saya.

Kotak-kotak pemicu sengketa ini tidak mungkin dilenyapkan jika analisis kesejarahan kita tidak dibentuk oleh Alquran dengan bantuan ‘aqlun shahih wa qalbun salim (otak yang sehat dan benar dan hati yang tulus dan bening).

Dua kekuatan intelektual dan spiritual dalam memahami kitab suci di atas sering benar binasa menghadapi konflik politik dan teologis melanda komunitas Muslim. Tragedi Baghdad pada 1258 saat pasukan Hulagu Khan memorakporandakan ibu kota Kerajaan Abbasiyah patut kita rekamkan kembali sebagai pelajaran moral bagi umat Islam sedunia, jika saja mereka punya hati untuk itu.

Panglima Mongol itu rupanya sudah tahu peta perbelahan Sunni-Syiah di Irak untuk dieksploitasi. Raja Abbasiyah terakhir, Musta’shim, dikenal sebagai penguasa Sunni yang selalu menghina kelompok Syi’i, mempermainkan iman mereka di muka publik. Sebagai raja peminum, Musta’shim lebih suka bergaul dengan pemusik dan para badut tinimbang dengan para penyair dan filosuf.

Karena menyadari raja Sunni ini mau diserang Hulagu, sebagian tokoh Syi’i malah memberi fasilitas kepada pasukan Mongol yang dengan sukarela membantu mereka dalam menguasai beberapa kota dalam perjalanan menuju Baghdad. Dalam situasi kritikal ini, Perdana Menteri a-Alkamzi, seorang penganut Syi’i, mengkhianati sang raja dengan memihak Hulagu. Hulagu berjanji tidak akan menghancurkan tempat-tempat suci kaum Syi’i di Najaf dan Karbala.

Apa yang kemudian berlaku? Serangan atas Baghdad terjadi pada Januari 1258. Saat pasukan Cina sebagai bagian dari tentara Hulagu menerobos dinding luar di bagian timur Baghdad, al-Musta’shim bersama pasukannya keluar sambil memberi tawaran untuk berunding, tetapi ditolak Hulagu.

Selama tujuh hari Baghdad dikepung dan kemudian membunuh sekitar 1 juta penduduknya, baik penganut Sunni maupun penganut Syi’i, karena Hulagu ternyata tidak bisa membedakan mereka. Pemihakan kelompok Syi’i kepada pasukan Mongol menjadi sia-sia. Semuanya binasa di Baghdad. Maka jadilah air Sungai Tigris berubah menjadi merah karena darah Muslim: Sunni dan Syi’i. (Lihat Tarek Fatah, Chasing A Mirage: The Tragic Illusion of An Islamic State. Mississauga, Ontario: John Wiley & Sons, 2008, hlm 232).

Dengan hancurnya Baghdad yang juga diberi nama Madinat al-Salam (Kota Perdamaian), maka Kerajaan Abbasiyah yang renta dalam usia sekitar 500 tahun kini terbenam ke dalam museum sejarah untuk selama-lamanya. Masihkah akan dilanjutkan juga perseteruan Sunni-Syi’i untuk tahun-tahun yang akan datang? Di abad modern, keberingasan pasukan Mongol itu dilanjutkan oleh Amerika dan sekutunya.

Sejarah Syi’i adalah sejarah tragedi demi tragedi. Karena selama berabadabad dikuyo-kuyo penguasa Sunni, kaum Syi’i lalu mengembangkan doktrin taqiyah (penyamaran identitas) demi kelangsungan hidup di lingkungan kaum Sunni yang memusuhi mereka.

Salah satu tragedi pada periode lebih awal ialah terbunuhnya al-Hussain bin Ali pada 680 di Karbala (Irak) di tangan tentara Yazid bin Muawiyah. Baik golongan Sunni maupun golongan Syi’i sama-sama mengutuk pembunuhan keji atas diri cucu nabi ini.

Bagi kaum Syi’i, Karbala dipercaya sebagai tempat suci sampai hari ini. Pembunuhan al-Hussain ini jelas sebuah kebiadaban yang tidak dapat dimaafkan. Namun menjadikan tragedi yang memicu dendam sejarah ini sebagai pembenar untuk merumuskan doktrin teologi dan politik hanyalah akan membunuh rasionalitas dalam penulisan sejarah.

Perseteruan Sunni-Syi’i ini belum juga padam dalam bilangan abad. Jika kita boleh berandai di abad ke-21 ini, maka kejadian inilah yang bakal berlaku: sekiranya Arab Saudi diserang Israel, tidak mustahil Iran akan membantu negara Zionis itu. Begitu pula sebaliknya: jika Iran diserang Israel, maka Arab Saudi akan berpihak kepada Israel.

Saya sampai kepada kesimpulan ini: baik sunnisme maupun syi’isme, seperti telah disebut terdahulu, tidak ada kaitannya dengan Alquran dan misi kenabian, kecuali jika dipaksakan secara ahistoris. Kotak-kotak ini amat bertanggung jawab bagi lumpuhnya persaudaraan umat beriman.


Maka, jika umat Islam di muka bumi memang mau punya hari depan yang diperhitungkan manusia lain, jalan satu-satunya adalah agar kita keluar dari kotak Sunni dan kotak Syi’i itu karena semuanya itu adalah hasil dari pabrik sejarah sekitar 25 tahun sesudah Nabi wafat.

Sumber: Jurnal Ma'arif Vol 10 No 2 Desember 2015



Jumat, 26 Februari 2016

Syahadat Indikator Sukses

Oleh Suhaimi M. Daud

Berbagai tolok ukur dalam menanggapi kesuksesan seseorang. Ada yang menyatakan jika seseorang sukses itu mempunyai harta yang banyak, punya istri cantik, suami tampan, ataupun orang yang memiliki jabatan tinggi, dengan itu  membuatnya dihormati banyak orang. Betulkah itu?

Menurut Islam, tolok ukur seperti itu hanya menyentuh segi lahiriah kesuksesan tersebut. Dibutuhkan tolok ukur yang mendasar menuju sukses. Ternyata Allah menjadikan syahadat sebagai tombol pertama menuju kesuksesan disertai dengan kebahagiaan hidup sejati.

Ada yang menyatakan agama itu abstrak, tidak real. Mereka mengira hidup di alam semesta hanya sebatas apa yang bisa dipandang saja. Orang orang yang berpikir begitu, adalah orang yang orientasi hidupnya materialis, yang hanya mengejar sesuatu bisa dilihat dengan mata dan dinikmati langsung secara lahiriah. Karena itu mereka alergi terhadap agama.

Di antara mereka menuduh agama telah menyebabkan manusia terpecah belah, membuat hidup tak lagi damai. Para pencinta dunia mencintai kebebasan. Mereka melihat orang mukmin hidup dikelilingi aturan dan ketentuan dan terkekang, makanya cara berpikir mereka tak pernah akur. Perpecahan itu sesungguhnya disebabkan ulah manusia, enggan menerima kebenaran dari Tuhan mereka, karena hati mereka dengki dan sombong, maka terpecahbelahlah.

Sesungguhnya sifat yang materialis itu tiada lain adalah kesombongan hatinya. Ketika ia melihat bagaimana tingginya langit, terbitnya matahari, bulan dan bintang serta pergerakannya, apakah itu itu suatu hal yang biasa. Mereka tidak berpikir bahwa ada sesuatu yang besar dibalik semua nikmat Allah.

Menurut mereka, aturan maupun ketetapan Islam itu diturunkan 1.400 tahun lalu, dimana kehidupannya tidak seperti sekarang, aturan itu baik dan bagus, tapi itu saat ketika itu. Adapun sekarang jika aturan atau ketentuan tersebut terus berlaku, tentu saja kaum muslim kini anti kemajuan, kolot dan kaku, Masya Allah! Apakah mereka tidak menyaksikan dengan jelas betapa agung, besar dan dahsyatnya hukum dan kekuasaan, serta keberadaan Allah yang pasti dan nyata pada dirinya dan dialam semesta ini.

Jadi, kesuksesan seseorang diukur sejauhmana komitmennya dalam mengimplementasikan syahadatain dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kariernya.  


Sehari Bersama Keluarga Muslim China

Oleh: Ulfa Khairina

Saya mendapat undangan dalam suasana Hari Raya Imlek dari sebuah keluarga etnis Tionghoa. Katanya, akan mengajak ke rumahnya dan mereka menjemput. Awalnya saya berpikir, kami akan menghabiskan waktu di kawasan Beijing dan menikmati waktu liburan di sebuah apartemen. Ternyata mereka menjemput untuk diajak ke provinsi Hebei, satu jam perjalanan dari tempat saya berdomisili mengendarai mobil pribadi.

Keluarga yang mengundang saya termasuk keluarga berada. Satu sisi, kebijakan satu anak yang diterapkan pemerintahan Tiongkok untuk menekan angka pertembuhan penduduk memberikan efek positif. Kehidupan ekonomi, pendidikan dan kelayakan hidup lebih menjamin mereka yang berusaha keras. Sebagai orang luar, saya bisa melihat kehidupan yang layak dari keluarga ini.

Wang Ying, kepala keluarga yang mengundang saya adalah pemilik kedai teh dan memiliki beberapa apartemen untuk disewakan di Beijing. Ia berasal dari provinsi Dongbei, menikah dengan wanita asal Shanxi dan menetap di Beijing. Anaknya seorang ahli di bidang IT. Saya mengenal keluarga ini melalui teman saya yang pernah bekerja dengan Wang Jixian, putra semata wayang mereka.

Ia memiliki rumah di Dachang, sebuah perkampungan muslim di provinsi Hebei yang didomisili oleh etnik Hui. Paman Wang selalu mengadakan pesta setiap liburan nasional Tiongkok. Liburan di Tiongkok merupakan hari istimewa bagi tiap keluarga. Karena saat inilah orangtua dan anak akan berkumpul bergembira. Di hari-hari kerja lainnya, mereka hampir tidak bertemu, karena kesibukan masing-masing. Orang tua bekerja, anak diasramakan untuk pendidikan yang maksimal.

Saat mengundang tamu, keluarga tionghoa akan menyuguhkan teh untuk tamu. Segala jenis dan rasa teh akan disuguhkan. Semakin lama teh disimpan, semakin mahal dan sempurna cita rasanya. Wang Ying seorang yang ahli dalam meramu teh. Ia mempunyai meja khusus untuk perjamuan teh kepada tamunya. Ia tidak membiarkan orang lain mewakilinya berada di balik meja. Teknik jamuan teh ala Tionghoa berbeda sekali dengan cara jamuan teh ala jepang.

Selama satu jam saya dilayani dengan berbagai jenis dan warna teh. Mulai dari teh Wulong (teh terbaik dari Tiongkok) sampai teh melati (teh termurah). Ia juga menjelaskan makna setiap teknik yang dilakukan ketika menyuguhkan teh untuk tamu. Dalam tradisi Tionghoa, tuan rumah tidak menyentuh cangkir teh dengan tangan. Ada alat khusus untuk mengangkat dan meletakkan teh ke hadapan tamu. Karena prinsip keluarga Tionghoa, tamu adalah raja.

Etnis Tionghoa juga terkenal royal kepada tamu. Makan siang saya berlangsung di restauran muslim di Dachang. Restaurant itu adalah milik abang kandung paman Wang. Ia menyuruh kami untuk memilih makanan sesuai selera. Karena tidak paham makanan apa yang menarik, keluarga Wang memilih menu terbaik di restauran tersebut. Mereka memesan kaki kambing untuk setiap tamu asing yang diundang. Menurut tradisi, kaki kambing adalah persembahan tertinggi untuk tamu, juga menu yang termahal dan hidangan istimewa.

Salah satu teman saya memasak kari kambing yang ukup enak dari daging yang disediakan. Keluarga Wang sangat bahagia, karena bisa menikmati masakan dari negara lain.

Sebagai bentuk terimakasih, keluarga Wang kembali menjamu kami dengan yangrou chuanr (sate kambing) yang amat terkenal sebagai makanan muslim tionghoa. Untuk pertama kalinya saya makan daging kambing sangat banyak dan rasanya luar biasa enak.

Keluarga Wang juga tidak keberatan mengantar untuk sholat di masjid. Menjelaskan ini dan itu dan mencoba menjadi penerjemah buat semua tamu undangannya. Paman Wang selalu mencoba memberikan yang terbaik, tidak hanya menjemput, ia juga mengantar kembali ke asrama.

Sungguh ini pengalaman berharga dan pelayanan istimewa sebagai tamu. Demikianlah kita dipersaudarakan Islam. Semoga pula anda berkesempatan bertamu ke negeri ini, membuktikan bahwa pergaulan Islam benar-benar tidak terbatas dan menjangkau negeri yang jauh dari tanoh Aceh.    



Pembangunan Harus Berpihak Petani

Banda Aceh (Gema) - 60 persen masyarakat Aceh adalah petani. Karena itu, diperlukan keberpihakan pembangunan yang total terhadap kepentingan petani, dengan cara menyediakan anggaran yang cukup, pendampingan dan proteksi harga hasil-hasil pertanian. Petani seharusnya menikmati subsidi negara dan hak-hak mereka terlindungi. 
Sudah saatnya petani memiliki kebebasan berorganisasi dan memperjuangkan aspirasi mereka. Bukan waktunya lagi petani diorganisir oleh kaum berdasi, hanya untuk melegitimasi kebijakan yang ada. “Kita ingin dengar suara petani, sebenar-benar petani,” harap Chik Ahmad, seorang buruh tani di Indrapuri, Aceh Besar.
Tak jauh dari harapan ini, Ahad 21/2, berlangsung pelantikan Pengurus Wilayah Serikat Tani Islam Indonesia (STII) Aceh di Banda Aceh. Acara pelantikan dirangkai seminar “Revolusi Pertanian Mewujudkan Kedaulatan Pangan”. STII akan menjadi mitra organisasi petani lainya yang terlebih dahulu eksis di Aceh.
Ketua Umum STII Pusat, Dr Ir H Abdullah Puteh Msi mengatakan, pemeritah harus berpihak kepada sektor pertanian dalam pembangunan. Pemerintah menyediakan anggaran yang besar untuk sektor pertanian dan mengawalnya dari hulu ke hilir. Kita tak boleh membiarkan sektor pertanian dikuasi pemilik modal dan secara tak langsung terbatasnya akses petani lokal.

Berpihak petani


Abdullah Puteh mengatakan, negara belum sepenuhnya berpihak kepada petani. Nasib petani masih sangat memprihatinkan. Karenanya dibutuhkan langkah progresif di bidang pertanian.

Di Amerika Serikat, katanya, anggaran pembangunan pertanian sebesar 18 persen, jadi hampir sama dengan anggaran pendidikan di Indonesia 20 persen. Negara adidaya ini masih menghormati sektor pertanian, tapi kenapa di negara agraris ini, pemerintah tidak berpihak kepada karunia Tuhan yang mampu mensejahterakan rakyat sampai kapanpun.
Kondisi masyarakat tani miskin di Indonesia hanya mempunyai tanah tidak lebih dari seperempat hektar. Pemerintah juga belum maksimal menyediakan bibit unggul dan antisipatif jika terjadi serangan hama.

Menurutnya, pemerintah harus berpihak pada anggaran pertanian,  pendampingan masyarakat tani dan penyiapan segala kebutuhan masyarakat tani dengan harga yang lebih murah dan mudah dicapai. “Jadi realisasikan 10 persen anggaran untuk pertanian dan berhenti dari segala impor item komoditas hasil pangan,” kata mantan Gubernur Aceh ini.

Kembangkan pertanian
Wakil Gubernur Aceh H Muzakir Manaf, meminta mahasiswa agribisnis untuk mengembangkan sektor pertanian yang ada di Aceh. Sebab pertanian merupakan salah satu sektor utama untuk mendorong perekonomian dan menyerap tenaga kerja.

“Sekarang banyak alat pertanian yang canggih, saya yakin mahasiswa pertanian mampu mengembangkan sektor pertanian dan memberikan kontribusi yang besar dalam agribisnis,” katanya.  
Muzakir Manaf menjelaskan, hampir semua bahan makanan pangan dapat dikembangkan di Aceh. Tiga diantaranya menjadi perhatian pemerintah, yaitu padi, kedelai dan jagung.  Untuk tahun 2016, Pemerintah Aceh menargetkan produksi padi hingga 2,7 juta ton, kedelai 131 ribu ton dan jagung 237 ribu ton.
Untuk mengembangkan produktivitas tanaman pangan, Pemerintah Aceh, kata Muzakir Manaf,  mendorong agar masyarakat desa meningkatkan aktivitas pertanian melalui program gampong sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Desa. Untuk mendorong program ini, pemerintah menyediakan anggaran melalui APBN untuk masing-masing desa di Indonesia.
Kehadiran Undang-Undang Desa, diharapkan mampu memperkuat pengembangan sektor pertanian di Aceh. “Dengan adanya dukungan dana desa, berbagai potensi pertanian yang ada di desa dapat dikembangkan untuk meningkatkan sektor pertanian sehingga lapangan pekerjaan semakin terbuka, desa pun menajadi lebih mandiri,” ujarnya.  
Dr Iskandar mengatakan, permasalahan utama  yang dihadapi oleh para petani adalah hilirnya, yaitu pemasaran yang belum maksimal. Para petani tidak mampu menjual hasil pertanian dengan harga yang sesuai. Bahkan katanya, ketika pertanian memasuki masa penen, harga pasaran jatuh.
“Kita harus mampu menangani masalah ini dengan cara menciptakan mekanisme pemasaran yang efektif, sehingga hasil pertanian dapat tertampung dan dibeli di pasaran,” kata Iskandar.
Karena itu pembangunan pertanian harus berpihak kepada petani dari hulu hinga ke hilir. Pemerintah harus mensubsidi bibit, pupuk dan membangun lahan pertanian baru. Kemudian diperlukan jaminan pemerintah terhadap harga hasil pertanian, melindungi petani dari tengkulak dan memfasilitasi petani memasarkan produk pertanian. Sayed/Dbs
Pengurus Wilayah Serikat Tani Islam Indonesia (STII) Aceh Periode 2015-2016
Ketua: Ir. M. Amin Affan, M.Si
Wakil Ketua I: Drs. Zulkarnaen Gamal
Wakil Ketua II: Ir. Nazar Idris, MP
Wakil Ketua III: L. Munir Umar
Wakil Ketua IV: Amiruddin Usman Daroy, SE
Wakil Ketua V: Dra. Rusnaini
Sekretaris: It. T. Armoza
Wakil Sekretaris: Said Azhar, SAg
Wakil Sekretaris: Faisal Putra Yusuf, SE
Wakil Sekretaris: Jamal Yunus, SH
Wakil Sekretaris: Ardabili Yati, SAg, MA
Wakil Sekretaris: Fahmi Wati, SH
Bendahara: Ir. Lukman Yusuf, M.Si
Wakil Bendahara: Ir. Miswar Basri, M.Si
Wakil Bendahara: Dra. Nurlina

Ketua Bagian Pertanian dan Perkebunan Rakyat
Ir. Nasrullah Hamid
Ketua Bagian Pembangunan Gampong
Drs. Bismi Syamaun
Ketua Bagian Peternakan dan Perikanan
Drh. T. Reza Ferasy, Ph.D
Ketua Bagian Koperasi, BMT dan Usaha Tani
Drs. H. Fakhri Ismail
Ketua Bagian Zakat dan Waqaf
Sayed Muhammad Husen
Ketua Bagian Kader Tani
Dr. Husni, M.Agric
Ketua Bagian Kehutanan, Transmigrasi dan Lingkungan Hidup
Ir. Nazir Akhmad, MS
Ketua Bagian Hukum dan Pembelaan
Darwis, SH
Ketua Bagian Wanita Tani
Ir. Sri Utami
Ketua Bagian Pemuda Tani
Dr. Ir. M. Sayuti A. Rani
Ketua Bagian Komunikasi dan Informatika
T. Mansursyah