Oleh Ahmad Syafii Maarif
Jika dihitung sejak
tahun 657 M, saat Perang Shiffin berkecamuk, yang kemudian menciptakan
kotak-kotak polarisasi umat Islam sampai sekarang, berarti sudah berlangsung
1.359 tahun sejarah Muslim terpasung dalam kotakkotak politik akibat ulah
perseteruan elite Arab Muslim itu.
Suniisme, Syi’iisme,
plus Kharijisme seolah telah menjadi sesembahan baru bagi dunia Islam dengan
“memaksa” Tuhan berpihak kepada kotak-kotak itu. Alangkah cerobohnya sikap yang
serupa ini, tetapi tetap saja tidak disadari. Umat Islam sedunia selama puluhan
abad telah terseret oleh sengketa elit Arab itu.
Pertanyaannya adalah
mengapa mereka tidak merasa ditipu oleh kotak-kotak yang tidak ada kaitannya
dengan Alquran dan Nabi Muhammad SAW itu? Kesadaran sejarah umat Islam amatlah
lemah, termasuk saya, padahal sudah mengalami kajian tingkat tinggi.
Sewaktu mengambil
program S3 dalam pemikiran Islam di Universitas Chicago, 1979-1982, saya juga
belum sadar bahwa kotak-kotak itu adalah sumber bencana yang bertanggung jawab
bagi hancurnya persaudaraan umat beriman yang demikian tegas dan gamblang
diajarkan Alquran. Dalam perjalanan waktu dengan usia yang semakin menua, saya
sampai kepada sebuah kesimpulan: jika umat Islam mau menata kehidupan
kolektifnya secara benar berdasarkan agama, tidak ada jalan lain, kecuali
kotak-kotak pemicu perbelahan itu harus ditinggalkan sekali dan untuk
selama-lamanya.
Selama Al-Quran dan
Sunah nabi yang sahih selalu dijadikan pedoman utama, tidak
ada yang harus dicemaskan jika kita semua siap mengucapkan selamat tinggal
kepada kotak-kotak penuh darah dan dendam kesumat itu. Ketegangan hubungan
antara Iran dan Arab Saudi sekarang ini tidak bisa dipisahkan dari kotak-kotak
itu, sekalipun nasionalisme juga merupakan faktor penting.
Adalah nonsens jika kedua pihak berpegang
kepada agama dalam makna yang benar. Agama dipakai hanyalah sebatas retorika
politik untuk tujuan duniawi. Fenomena semacam ini telah berlaku berkali-kali
sepanjang sejarah Muslim. Adapun sikap para aktivis yang membela pihak-pihak
yang bersengketa dengan dalil-dalil agama, bagi saya, boleh jadi karena sekrup
ubun-ubunnya lagi longgar, terlepas dari kawalan wahyu.
Penganut Sunnisme,
penganut Syiahisme, penganut Kharijisme, yang seluruhnya bercorak Arab itu
dengan klaim kebenaran masing-masing semestinya mau bercermin dengan cerdas dan
tulus kepada realitas umat yang terkapar berkalikali dalam berbagai tikungan
sejarah yang menyengsarakan. Saya sungguh gagal memahami mengapa berhala
suniisme, syi’iisme, kharijisme masih saja dijadikan Tuhan oleh mayoritas umat
Islam di muka bumi hingga sekarang ini.
Ada apa dengan otak
kita, ada apa dengan hati kita? Atau Al-Quran mari kita buang sama sekali dan
kita menjadi umat yang tuna identitas? Coba simak baik-baik makna ayat ini,
“Dan Rasul berkata, ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan
Alquran ini menjadi sesuatu yang tidak dihiraukan’.” ( QS al-Furqan [25]: 30).
Saya khawatir bahwa
ayat ini tidak hanya dialamatkan kepada kafir Quraisy sebagaimana dipahami oleh
hampir semua mufasir, tetapi juga kepada siapa saja yang tidak lagi menjadikan
Alquran sebagai pedoman pertama dan utama dalam mengatur kehidupan kolektif
mereka, seperti yang kita derita sekarang ini.
Ajaibnya, umat yang
tercabik selama berabad-abad itu telah mengidap amnesia kolektif tentang
bencana sejarah itu. Mungkin sudah ratusan ribu halaman buku yang ditulis oleh
masing masing-masing pihak untuk membela keberadaan kotak-kotak yang
menyesatkan itu dengan dalil-dalil agama yang terlepas dari benang merah
Al-Quran.
Sekiranya kesadaran
keagamaan saya sudah berada pada tingkat seperti sekarang ini puluhan tahun
yang lalu, saya akan perdebatkan masalah penting ini dengan almarhum Fazlur
Rahman (guru saya di Chicago); dengan almarhum H Agus Salim, pemikir Muslim
Indonesia; dengan almarhum Hamka, mufasir yang banyak mengilhami cara berpikir
saya.
Kotak-kotak pemicu
sengketa ini tidak mungkin dilenyapkan jika analisis kesejarahan kita tidak
dibentuk oleh Alquran dengan bantuan ‘aqlun
shahih wa qalbun salim (otak yang sehat dan benar dan hati yang tulus dan
bening).
Dua kekuatan
intelektual dan spiritual dalam memahami kitab suci di atas sering benar binasa
menghadapi konflik politik dan teologis melanda komunitas Muslim. Tragedi
Baghdad pada 1258 saat pasukan Hulagu Khan memorakporandakan ibu kota Kerajaan
Abbasiyah patut kita rekamkan kembali sebagai pelajaran moral bagi umat Islam
sedunia, jika saja mereka punya hati untuk itu.
Panglima Mongol itu
rupanya sudah tahu peta perbelahan Sunni-Syiah di Irak untuk dieksploitasi.
Raja Abbasiyah terakhir, Musta’shim, dikenal sebagai penguasa Sunni yang selalu
menghina kelompok Syi’i, mempermainkan iman mereka di muka publik. Sebagai raja
peminum, Musta’shim lebih suka bergaul dengan pemusik dan para badut tinimbang
dengan para penyair dan filosuf.
Karena menyadari raja
Sunni ini mau diserang Hulagu, sebagian tokoh Syi’i malah memberi fasilitas
kepada pasukan Mongol yang dengan sukarela membantu mereka dalam menguasai
beberapa kota dalam perjalanan menuju Baghdad. Dalam situasi kritikal ini,
Perdana Menteri a-Alkamzi, seorang penganut Syi’i, mengkhianati sang raja
dengan memihak Hulagu. Hulagu berjanji tidak akan menghancurkan tempat-tempat
suci kaum Syi’i di Najaf dan Karbala.
Apa yang kemudian
berlaku? Serangan atas Baghdad terjadi pada Januari 1258. Saat pasukan Cina
sebagai bagian dari tentara Hulagu menerobos dinding luar di bagian timur
Baghdad, al-Musta’shim bersama pasukannya keluar sambil memberi tawaran untuk
berunding, tetapi ditolak Hulagu.
Selama tujuh hari
Baghdad dikepung dan kemudian membunuh sekitar 1 juta penduduknya, baik
penganut Sunni maupun penganut Syi’i, karena Hulagu ternyata tidak bisa
membedakan mereka. Pemihakan kelompok Syi’i kepada pasukan Mongol menjadi
sia-sia. Semuanya binasa di Baghdad. Maka jadilah air Sungai Tigris berubah
menjadi merah karena darah Muslim: Sunni dan Syi’i. (Lihat Tarek Fatah, Chasing A Mirage: The Tragic Illusion of An
Islamic State. Mississauga, Ontario: John Wiley & Sons, 2008, hlm 232).
Dengan hancurnya Baghdad yang juga
diberi nama Madinat al-Salam (Kota Perdamaian),
maka Kerajaan Abbasiyah yang renta dalam usia sekitar 500 tahun kini terbenam
ke dalam museum sejarah untuk selama-lamanya. Masihkah akan dilanjutkan juga
perseteruan Sunni-Syi’i untuk tahun-tahun yang akan datang? Di abad modern,
keberingasan pasukan Mongol itu dilanjutkan oleh Amerika dan sekutunya.
Sejarah Syi’i adalah
sejarah tragedi demi tragedi. Karena selama berabadabad dikuyo-kuyo penguasa Sunni, kaum Syi’i lalu mengembangkan doktrin taqiyah (penyamaran identitas) demi
kelangsungan hidup di lingkungan kaum Sunni yang memusuhi mereka.
Salah satu tragedi
pada periode lebih awal ialah terbunuhnya al-Hussain bin Ali pada 680 di
Karbala (Irak) di tangan tentara Yazid bin Muawiyah. Baik golongan Sunni maupun
golongan Syi’i sama-sama mengutuk pembunuhan keji atas diri cucu nabi ini.
Bagi kaum Syi’i,
Karbala dipercaya sebagai tempat suci sampai hari ini. Pembunuhan al-Hussain
ini jelas sebuah kebiadaban yang tidak dapat dimaafkan. Namun menjadikan
tragedi yang memicu dendam sejarah ini sebagai pembenar untuk merumuskan
doktrin teologi dan politik hanyalah akan membunuh rasionalitas dalam penulisan
sejarah.
Perseteruan
Sunni-Syi’i ini belum juga padam dalam bilangan abad. Jika kita boleh berandai
di abad ke-21 ini, maka kejadian inilah yang bakal berlaku: sekiranya Arab
Saudi diserang Israel, tidak mustahil Iran akan membantu negara Zionis itu.
Begitu pula sebaliknya: jika Iran diserang Israel, maka Arab Saudi akan
berpihak kepada Israel.
Saya sampai kepada
kesimpulan ini: baik sunnisme maupun syi’isme, seperti telah disebut terdahulu,
tidak ada kaitannya dengan Alquran dan misi kenabian, kecuali jika dipaksakan
secara ahistoris. Kotak-kotak ini amat bertanggung jawab bagi lumpuhnya
persaudaraan umat beriman.
Maka, jika umat Islam
di muka bumi memang mau punya hari depan yang diperhitungkan manusia lain,
jalan satu-satunya adalah agar kita keluar dari kotak Sunni dan kotak Syi’i itu
karena semuanya itu adalah hasil dari pabrik sejarah sekitar 25 tahun sesudah
Nabi wafat.
Sumber: Jurnal Ma'arif Vol 10 No 2 Desember 2015