Kamis, 08 Oktober 2015

Puisi

Hefa Lizayanti:

Untukmu Ide

Sampai sebegini akhirnya waktu
Aku masih setia memandangi kosong lembar kerjaku
Meraba setiap lintas benak
Nihil, tak ada sebersit pun engkau menghampiri
Tidak juga saat kalimat ini kutulis
Tapi aku harus menulis
Dan aku tetap terus menulis
Apapun yang berhasil terhampiri
Oleh tarian jemari

Kutanyakan padamu wahai ide
Mengapa engkau sebegitu suka merajuk
Kemarin, saat aku sedang berkendara
Lincah sekali engkau bermain di benakku
Menggodaku agar segera berhenti demi mengguratmu
Tapi aku tak dapat
Sudah terlalu telat untuk sampai ke rumah
Pula tadi malam
kala aku sedang bercengkrama dengan bahan masakan di dapur
ada-ada saja polahmu demi aku menyatakanmu
tapi sekali lagi aku tak mampu
khawatir dalam lapar menunggu anak-anakku ‘kan tertidur

maka saat aku menghampirimu hari ini
dalam keluangan yang kusahaja
engkau lenyap entah kemana
tanpa setitik rasa jua
tapi tak apa
aku sangat merasa pasti
meski dalam bentuk berbeda
engkau akan menggodaku lagi lain kali

Takengon, 1 Oktober 2015, 14.00 Wib



Belajar dari Orang-Orang Disekitar Kita

Banda Aceh (9/10) - Setiap pemberian Allah wajib disyukuri, baik itu kelebihan atau pun kekurangan, hal tersebut disampaikan Tgk Hanafiah Idris, seorang tuna netra di Banda Aceh yang menjadi nara sumber dalam program Perbincangan Jumat Pagi Radio Baiturrahman, Jumat pukul 8.05 - 8.35 wib. Talk show yang mengangkat tema "belajar dari orang-orang biasa disekitar kita" ini dipandu oleh Sayed Muhammad Husen.

Tgk Hanafiah mengatakan mempunyai kekurangan fisik merupakan takdir dari Allah. "Takdir dari Allah apapun itu harus disyukuri," ujarnya.

Ayah dari 4 orang anak ini menceritakan perjalanan hidupnya sejak mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) Ulee Kareng. Selain mendapatkan pendidikan formal ia juga mendapatkan keterampilan seperti cara membuat kesek kaki, sapu ijok dan lainnya.

Keterampilan itu pernah dijadikan sumber pendapatan. "Kami buat sapu ijok kemudian kami jual, karena sudah masuk sapu dari Medan, sapu kamipun tak laku lagi," tambahnya.

Pria kelahiran Lamnga Aceh Besar tahun 1969 ini menambahkan, sekarang ia hanya mendapatkan rezeki dari keterampilan pijat dan bermain key board. Modal inilah untuk mencari rizeki saat ini. "Alhamdulillah, saya berhasil buka usaha sendiri di jalan Cut Mutia Banda Aceh. Uangnya saya kumpulkan dan main arisan, sebahagian pinjam dari orang lain dengan modal kejujuran," tambahnya.

Ia mengaku tidak ada bantuan dari pemerintah. Dari hasil pijatnya, Tgk Hanafiah dapat menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya. "Anak saya yang tua sekarang kuliah.”

Ketika ditanya apa kendala saat ini. Tgk Hanafiah mengatakan, banyaknya pijat refleksi di Kota Banda Aceh mengakibatkan banyak teman-teman tunanetra harus turun ke jalan mengemis di persimpangan lampu merah.

"Banyak diantara teman teman tuna netra jadi pengemis di simpang lampu merah," katanya.

Di akhir talk show ia berharap kepada pemerintah untuk dapat membantu modal. "Pemerintah hendaknya memperhatikan para tunanetra, kalau tak kasih modal uang, kasih alat boleh juga."
(muharrami)

Sumber: https://www.facebook.com/baiturrahmanfm.bandaaceh/posts/1032359720149652?from_close_friend=1&notif_t=close_friend_activity

Rabu, 07 Oktober 2015

Duka Mina

Oleh Murizal Hamzah 

Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn. Lebih dari 700 jamaah haji wafat di Mina pekan lalu. Mereka sebagai tamu Allah berpulang ke Rahmatullah karena berdesakan dan terinjak-injak. Dunia berduka atas tragedi kemanusiaan di Tanah Suci.  Tidak pelak, jamaah haji yang syuhada itu mencatat rekor terbesar dalam 25 tahun terakhir. Masih pada September lalu, sebuah crane ambruk di Kompleks Masjid Haram Mekkah yang menyebabkan paling kurang 100 jamaah haji meninggal dunia.

Sebelumnya, hal serupa terjadi di  terowongan Al Maaisim Mina pada 1990 yang menyebabkan paling kurang 1.000 jamaah haji meninggal dunia karena berdesak-desak. Terowongan itu menghubungkan Mekkah ke Mina dan Arafat. Peristiwa ini dikenal dengan tragedi terowongan Mina.

Pelajaran apa yang bisa  menjadi hikmah dari peristiwa di Mekkah dan Madinah tersebut? Tentu banyak hal yang bisa dipetik  bagi ummat Islam. Mari kita buka dokumen tragedi tersebut yang antara lain mengaitkan hal itu karena ada pihak tertentu yang ke sana atau konspirasi dari berbagai pihak. Ummat pun digiring beropini sehingga ada pihak yang difitnah atau disalahkan tanpa melalukan verifikasi alias tabayum bin cek dan ricek.

Ghalibnya, kita yang tidak paham terhadap situasi di Mekkah dan Madinah ikut-ikut menyebarkan foto, gambar atau info yang belum jelas atau akurat. Tanpa menyadari berita yang sebenarnya, baik karena niat memberi kabar untuk kebaikan, kita menyebarluaskan info yang masih sepenggal melalui media sosial seperti pesan singkat melalui telepon seluler. Padahal kabar yang kita sebarluaskan itu berpeluang menimbulkan fitnah atau kebencian terhadap pihak tertentu. Ya setiap warta itu membawa pesan tersembunyi dan jelas terungkap.

Pada akhirnya setelah membaca mentah-mentah info yang belum shahih itu, ummat bisa menuduh pihak tertentu tidak profesional mengurus jamaah haji. Untuk menghibur diri sendiri, kita menyebut ini sudah takdir bukan nasib. Padahal antara takdir dan nasib itu berbeda. Nasib itu bisa diubah dengan doa, kerja keras dan sebagainya. Lahir dari keluarga miskin adalah takdir namun berusaha menjadi kaya adalah nasib. Maka nasib berkaitan dengan ikhtiar dan pasrah kepada Allah SWT. Sedangkan takdir sudah ketetapan sejak lahir. Nah kini usai sebuah peristiwa, kita bisa memilah apa ini disebut nasib atau takdir?

Berdasarkan literatur tragedi di Tanah Suci, paling kurang ada 10 kasus terjadi di Mina atau Mekkah yang menelan ratusan korban setiap peristiwa. Jika ditelusuri lebih lanjut, tragedi yang merenggut nyawa jamaah haji sering terjadi di Mina yakni  ketika ibadah melempar jumrah. Sebut saja pada  2004 dan 2005, tercatat ratusan jamaah haji merengang nyawa karena terinjak atau terkena batu lemparan batu jumrah.

Tragedi itu bisa membuncah karena calon jamaah haji ingin bergegas menyelesaikan ibadah dengan mengabaikan keselamatan diri sendiri dan calon jamaah haji lain. Padahal semua maklum Islam mengutamakan kesabaran dan berpikir sebelum bertindak. Agar tragedi ini tidak terulang lagi pada masa mendatang, salah satunya setiap jamaah haji harus tertib atau ikut peraturan.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al-Baqarah 2: 155-157)

Ingatlah, tidak perlu berdesak-desak di dunia untuk menuju pintu surga di akhirat. Menahan diri sekejab itu lebib baik. Surga tetap dapat menampung sebanyak ummat yang beribadah karena ikhlas serta berbuat kebaikan. Jika mayoritas ummat Islam bisa sedikit sabar, maka tragedi yang merenggung nyawa pada masa kini dan mendatang bisa dikurangi. 











Pahala Haji

Oleh Ameer Hamzah

Putih-putih si bunga putih, yang lebih putih bunga melati/Putih bersih hati nan suci, peci putih pertanda haji/haji mabrur pahalanya tinggi, penghuni surga di akhirat nanti. (Syair: Abu Raudhah).

Pahala Haji yang mabrur sudah sangat populer kita dengar  adalah surga. Rasulullah bersabda: Haji mabrur, tidak ada balasan baginya yang pantas kecuali surga (HR Bukhari-Muslim). Mungkin karena itulah ummat Islam sangat termotivasi untuk melaksanakan ibadah haji. Rasulullah menambahkan dalam hadis lain: Berhajilah kamu, haji itu dapat membersihkan dosa-dosa seperti seseorang menyiram air di atas kain, sedikit demi sedikit airnya menuai sampai kering. (HR Thabrani).

Tanda-tanda haji mabrur antara lain;  Pertama, sepulang dari haji amal ibadahnya lebih baik dari sebelum berangkat haji. Misalnya, dulu shalat tidak berjamaah, sekarang justeru suka shalat berjamaah. Hatinya terikat dengan masjid. Mereka takut kepada Allah SWT. Maka mereka suka shalat di masjid, karena pahalanya berlipat ganda. Shalat jamaah itu pahalanya 27 kali shalat sendirian.

Kedua, suka bersedekah, tidak kikir lagi seperti sebelum berangkat haji. Sedekah itu dapat pahala yang besar.  Sedakah wajib yakni zakat harta dan zakat fitrah. Sedekah sunat juga diberikan.  Allah akan mensucikan harta mereka. “Dan pada harta mereka  itu ada hak bagi orang miskin yang tidak dapat bahagian….” (QS Az-Zariat: 19).

Ketiga, jujur dan amanah. Sifat ini sekaligus menolak sifat munafik dalam diri seseorang.  Sebab orang yang suka berdusta dan tidak amanah itu adalah sifat-sifat munafik yang wajib dijauhi. Sangat tidak pantas sifat tercela itu ada pada seorang yang sudah menunaikan ibadah haji.

Keempat, menjaga harga diri, tidak membuat keonaran. Kelima, suka menyebar salam. Hikmah salam adalah dapat menghapuskan dengki dan benci, menyuburkan silaturrahmi, menjauhkan sifat sombong, dan mendapat pahala dari Allah SWT. Keenam, menjaga lidah dari kata-kata kotor. Suka menelaah ilmu, baca Al Quran dan hadits nabi.

Bagi yang tidak sempat menunaikan ibadah haji, juga Allah SWT menyediakan pahala yang sebanding dengan pahala haji. Antara lain: Pertama, hakim yang adil, pahalanya sangat besar. Kedua, shalat shubuh dan Isya berjamaah. Ketiga, berperang di jalan Allah SWT. Keempat, menuntut ilmu agama. Kelima, umrah bulan Ramadhan. Keenam,  berbuat baik kepada  dua orang tua. Ketujuh, kasih sayang kepada anak yatim dan fakir miskin.
             

            

Daya Tarik Kota Suci

Oleh: Ahmad Faizuddin 

Kota Makkah dan Ka’bah senantiasa menjadi daya tarik bagi ummat Islam. Namun menurut beberapa jama’ah, banyak perubahan terjadi di kota yang mulia ini dibandingkan 1980-an dulu.

Makkah dulu masih di kelilingi dengan bukit berbatu. Rumah penduduk bertebaran di atas bukit sekitar Masjidil Haram. Banyak kedai-kedai kecil di sekeliling masjid yang menawarkan para jama’ah berbagai macam barang dan cinderamata.

Yang menarik, cerita tentang para penjual dan pembeli di kedai-kedai tersebut. Ketika azan berkumandang semuanya meninggalkan aktivitas jual beli dan membiarkan kedai terbuka begitu saja.

Makkah sekarang sudah berubah. Rumah-rumah penduduk disekitar bukit tergantikan dengan gedung-gedung megah perhotelan untuk para jama’ah Haji. Beberapa bangunan lama diruntuhkan untuk proyek pembangunan dan pelebaran Masjidil Haram. Mungkin karena mengingat bertambahnya jumlah jama’ah setiap tahun, hal ini supaya masjid bisa menampung jama’ah yang banyak dan memberikan kemudahan ibadah kepada semua.

Banyak bangunan-bangunan baru untuk kemudahan beribadah. Terowongan baru dibangun untuk mengatasi sesaknya jama’ah memasuki Masjidil Haram. Ruang untuk melaksanakan thawaf kini lebih besar dan dapat dilakukan di tingkat atas. Tempat ibadah lari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah pun sudah bertingkat tiga.

Yang menjadi pusat perhatian tentu saja Ka’bah yang mulia. Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. bersama putranya Nabi Ismail a.s. Dinamakan dengan Ka’bah karena bangunannya yang bersegi empat. Dalam bahasa Arab, rumah bersegi empat biasanya dinamakan dengan Ka’bah.

Dalam Al-Qur’an Surah Al-Fiil (105:1–5) Allah SWT menceritakan tentang burung-burung Ababil yang menghancurkan pasukan bergajah. Raja Najasi bernama Abrahah dari negeri Habasyah menyerbu Makkah dan berusaha meruntuhkan Ka’bah, namun Allah menggagalkan rencana mereka.

Allah SWT berfirman, “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, hadya, dan qalaid. Allah menjadikan yang demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesugguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesugguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Al-Maidah 5:97).

Adapun yang dimaksudkan dengan pusat peribadatan dan urusan dunia bagi manusia adalah Ka’bah. Sekitarnya menjadi tempat yang aman bagi manusia untuk mengerjakan urusan-urusan duniawi dan ukhrawi. Sementara itu, bulan haram adalah bulan-bulan yang dilarang melakukan peperangan di dalamnya, yaitu bulan Zulka’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.

Hadya adalah binatang-binatang yang dibawa ke Ka’bah untuk disembelih di tanah haram dalam rangka ibadah haji dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin. Biasanya berupa unta, lembu, kambing atau biri-biri. Adapun qalaid maksudnya binatang hadya yang sudah ditandai dengan kalung supaya orang mengetahui, bahwa binatang tersebut diperuntukkan untuk dibawa ke Ka’bah. Dengan penyembelihan tersebut, orang yang berqurban mendapat pahala yang besar dan fakir miskin mendapat kesenangan dari daging-daging sembelihan yang diperolehnya.

Di Ka’bah ada sebuah batu bernama Hajar al-Aswad. Secara bahasa ia berarti ‘Batu Hitam’. Hukum mencium Hajar al-Aswad ini sunat pada permulaan tawaf. Dalam sebuah hadits riwayat dari Imam Al-Turmuzi diceritakan, bahwa Hajar al-Aswad akan menjadi saksi di akhirat kelak bagi mereka yang menciumnya dengan kebenaran.

Hal ini berarti belum tentu orang yang mencium Hajar al-Aswad akan memperoleh syafa’at di Hari Akhirat. Karena boleh jadi ia melakukannya dengan menyakiti jama’ah yang lain untuk mencium Hajar al-Aswad.

Semoga pesona tanah suci ini senantiasa kita nikmati sampai akhir zaman. Semoga jama’ah haji yang menunaikan ibadah di dalamnya mendapatkan gelar mabrur dan semoga ummat Islam yang belum menunaikan haji mendapatkan kesempatan mengunjungi tempat yang penuh berkah ini. Wallahu a’lam.

Penulis, mahasiswa program Doctoral di Kulliyyah of Education, Educational Management and Leadership, International Islamic University Malaysia (IIUM)


Anak Shalih Disayang Allah


Banda Aceh (Gema) - Hari pertama mengaji di Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) Plus Baiturrahman, ratusan santri bersama ustadz/uztazah dan wali murid menggelar halal bi halal, sore Senin (28/9). Agenda rutin tahunan ini, dilakukan sebelum sesi pulang, sore 14 Dzulhijjah, mengganti pelajaran jam ketiga.

Halal bi halal berlangsung di ruang dalam Masjid Raya Baiturrahman (karena halaman sudah ditutup pekerja proyek Masjid Raya) itu, hanya dilakukan santri gelombang I (yang mengaji Senin-Rabu-Jumat), sedangkan untuk santri yang aktif dalam gelombang II (Selasa-Kamis-Sabtu), dilaksanakan sore Selasa (29/9).

Sesi Senin, taushiah disampaikan Wakil Direktur Ridhwan MA, dan sesi Selasa disampaikan oleh Nadiatul Hikmah SAg, yang juga guru PAI SMA 1 Banda Aceh. Sesi hari pertama, mengupas singkat kisah qurban.

“Anak shalih disayang Allah, dicintai orang tua, dan kawan-kawan, kayak shalihnya Nabi Ismail as,” uraiUstadz Ridhwan, Wakil Direktur TPQ Plus, yang pagi menjadi pembina apel di MAN Model.

Pengurus dan Dewan Pengajar TPQ Plus bersama Persatuan Orang Tua Murid (POM), juga menyaksikan penampilan group shalawat Sanggar TPQ, membaca bersama Asmaul Husna, serta menyimak taushiah singkat Ustadz Ridhwan MA. Taushiah memang singkat, dari Ustadz mantan guru MAS Darusysyariah itu, karena acara digelar usai jam pertama dan kedua mengaji (pukul 17.30 WIB, sampai pulang).

Hingga pertengahan semester ganjil ini, lebih 1000 santri TPQ Plus bersama 105 ustadz/ustazah dalam 34 jumlah kelas. “Ada 30 ustadz dan ustazah baru yang sedang magang, sebelum resmi jadi dewan pengajar,” jelas Afdhalil Ilyas SPdI, Wakil Kabag Pengajaran.

Sementara saat halal bi halal pun, wali murid di bawah binaan TPQ Plus yang April lalu bermilad ke 19 itu, sedang mengadakan pengajian sore Senin, Rabu, Jumat di teras tengah, bersama kaum ibu-ibu.
TPQ Plus yang bermilad ke 19 April lalu (TPQ Plus lahir 17 Ramadhan 1417 H/14 April 1996) sudah menggelar tasyakkur/wisuda TPQ Plus 2015 (ke 19) di AAC Dayan Dawood Darussalam (2 Juni 2015). Usai wisuda, murid baru sudah diterima dan kini kapasitas TPQ sudah penuh. Pengajian usai Syawal bersama anak didik baru dan lama sudah masuki bulan ketiga.


Sebelum wisuda biasanya juga gelar HB3 (Hari Belajar, Bermain, dan Beramal) ke luar kota. Jenjang di TPQ Plus ada usia TKQ (5-7 tahun), TPQ (8-12), TQA (13-15), dan TQS (15-18). Muhammad Yakub Yahya

Baitul Quran Sarat Prestasi

Banda Aceh (Gema) - Program Baitul Quran Pesantren Imam Syafi’i sejak dicanangkan pertengahan 2014 lalu, berhasil menorehkan berbagai prestasi. Semua santri yang tergabung dalam program ini mencapai target hafalan 7 juz per semester. “Bahkan ada yang hafalannya lebih, ” kata seorang pembina santri, Fajri SPdI.

Menurutnya, hafalan tertinggi saat ini santri Baitul Quran 19 juz, santri lainnya ada yang menghafal 15juz, 12juz dan 10 juz.

Presatasi lain santri Baitul Quran Pesantren Imam Syafi’i ikut mengharumkan nama pesantren dan nama  Aceh Besar. Misalnya, pada event Pentas PAI tingkat SMP se Aceh Besar beberapa waktu lalu,  santri Baitul Quran terpilih sebagai juara I cabang lomba Tahfidzul Quran sekaligus terpilih sebagai wakil Aceh Besar untuk ditingkat Provinsi.

Fajri menambahkan, pada pergelaran Pentas PAI Provinsi, santri Baitul Quran meraih juara harapan III cabang lomba Tahfidzul Quran. “Ini sebuah prestasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata untuk tingkat provinsi,” katanya.

Tidak hanya itu, katanya, pada  event Ruhul Islam Anak Bangsa Fair (RIAB)  IV Tahun 2015, menyisihkan puluhan kompetitor lain dari madrasah seluruh Aceh.  Santri Baitul Quran mendapat juara III cabang lomba Tahfidzul Quran 3 juz.

Beberapa waktu lalu, kata Fajri, pembina Baitul Quran dikirim ke lembaga pendidikan khusus Tahfidzul Quran di Jakarta untuk memantapkan hafalan, sekaligus mempelajari metode metode baru menghafal al-Quran. Setahun kemudian dia akan pulang untuk membina santri Baitul Quran.  

“Baitul Quran berkomitmen tinggi berkontribusi mensyiarkan syariat Islam di Aceh dengan melahirkan lebih banyak santri hafidz Quran,” ujarnya.  Sayed/Rel


13 Imam Masjid Latihan ke Malaysia


Banda Aceh (Gema) - Sebanyak 13 imam dari berbagai masjid di Aceh mengikuti Pelatihan Profesionalisme Imam di Institut Latihan Islam Malaysia (ILIM), 1-13 Oktober 2015.  Pelatihan tersebut terselenggara berkat kerjasama antara Dewan Kemakmuran Masjid Aceh (DKMA)/ FORSIMAS dengan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), yang dirintis sejak 2010.

Menurut Ketua Umum PP-DKMA, Ir. H. Basri A.Bakar, MSi, pelatihan tahun ini, pihaknya mengirim 13 peserta dari jumlah peserta sebanyak 30 orang dari Negara Asean, sedangkan tahun 2013 hanya sebanyak 8 orang. Disebutkan, pelatihan tahun pertama 2010, Aceh mengirim sebanyak 30 peserta dari total 60 orang yang dibiayai pemerintah Malaysia.

Selama 12 hari, peserta pelatihan selain mendapat materi di ruang kelas, juga ada paket lawatan ke berbagai masjid terkemuka di Malaysia. Materi yang disampaikan oleh narasumber  selain masalah tahsinul qiraat, fiqh shalat, ubudiyah, upaya memakmurkan masjid dan juga menyangkut manajemen masjid secara umum.

Tgk Adnan Ali SPdI yang ditunjuk sebagai ketua rombongan mengaku sangat berterima kasih atas kesempatan ini. Ia berharap, kerjasama ini hendaknya dapat dijalin lebih erat lagi, sehingga pihak Malaysia dapat mengundang Aceh setiap tahun. “Semoga pelatihan ini bermanfaat dalam upaya meningkatkan mutu imam di masjid masing-masing daerah,” ujarnya.

Sementara Sekretaris FORSIMAS, Drs H M Hasan Basry MA berharap kepada semua peserta agar dapat menjaga marwah selama pelatihan dengan mengikuti semua aturan yang diatur panitia. Hendaknya materi yang diterima dapat diaplikasikan di tempat masing-masing. “Kami terus berusaha melakukan komunikasi dengan pihak ILIM, agar setiap tahun mereka bersedia memberi peluang pelatihan untuk kita kirim para imam masjid,” paparnya. Sayed/Relis 

Menjauhi Prasangka

Oleh Basri A Bakar 

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari prasangka (zhan), karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu merupakan dosa.” (QS Al-Hujurat: 12)

Prasangka atau berburuk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arab disebut su`uzhan mungkin sering hinggap di hati seseorang.  Bahkan terkadang prasangka itu tiada berdasar dan tidak bisa dibuktikan. Padahal su`uzhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang sangat dilarang.

Al-Hafizh Ibnu Katsir r.a berkata, “Allah SWT dalam firmanNya melarang kita dari banyak prasangka, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian.

Dalam Surat Al Hujurat ayat  6 Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Selanjutnya Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata: “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin, kecuali dengan persangkaan yang baik.  Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.

Oleh karena itu, mari kita jaga hati dan iman kita untuk tidak melakukan prasangka buruk kepada sesama. Allah sangat melarang hambaNya melakukan perbuatan keji semisal prasangka buruk dan menuduh orang lain tanpa ada bukti kebenarannya.

TRAGEDI MINA DAN HADITS PELEMPARAN JUMRAH

 Khutbah Jumat 2 Oktober 2015:  

Oleh:  Tarmizi M. Jakfar

Tragedi musibah Mina telah terjadi berulang kali pada musim haji dan telah banyak merenggut jiwa para manasik haji yang sedang beribadah di tanah haram itu. Peristiwa tersebut telah meresahkan ummat Islam di seantero dunia, khususnya mereka yang sedang dan bermaksud akan menunaikan ibadah haji pada masa-masa yang akan datang. Musibah demi musibah seolah merupakan takdir yang harus diterima begitu saja, tanpa perlu mencari jalan keluarnya. Begitulah kesan yang dapat kita tangkap ketika media  menyiarkan tanggapan beberapa pihak  tentang tragedi tersebut.

Sebagai pihak penyelenggara, apakah pemerintah Arab Saudi atau Departemen Agama untuk warga negara Indonesia, seharusnya tidak cukup menyerahkan persoalan ini kepada takdir semata, atau mengatakan sebagai resiko ibadah. Sebaliknya, mereka harus mencari solusi agar musibah yang kerap kali terjadi itu tidak terulang lagi pada masa-masa mendatang. Masih segar dalam ingatan kita korban pada musim haji tahun 1990 yang merenggut tidak kurang dari 1.426 nyawa manusia karena berdesakan di terowongan Mina. Kemudian terulang lagi pada tahun 1994 menelan korban 270 orang, pada tahun 1998 korban 119 orang, lalu pada tahun 2001 sebanyak 35 orang dan pada tahun 2003 sebanyak 14 orang, tahun 2004 berjumlah 251 orang dan pada pelaksanaan haji tahun 2015 ini yang terenggut nyawa sekitar 700 jiwa lebih sementara yang luka-luka sekitar 800 jiwa.

Kini memang, seperti media juga melaporkan,  Kerajaan Arab Saudi telah membangun jembatan Jamarat atau semacam jalur bertingkat empat untuk memudahkan jamaah melontar jumrah. Selain itu juga dibangun terowongan bawah tanah yang mengarah ke Jamarat, khusus bagi pejalan kaki. Bahkan, untuk lebih memastikan keamanan jamaah, pihak Direktur Urusan Haji Kementerian Dalam Negeri  Kerajaan Arab Saudi memberlakukan sistem buka tutup untuk arus jamaah dalam pelaksanaan lempar jamarat, dimana ketika satu kelompok masuk, maka kelompok lain tidak boleh masuk sebelum kelompok lain selesai melempar. Namun perlu diingat, usaha ke arah perbaikan ini pernah pula dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, seperti perluasan Masjidil Haram, penggalian terowongan, membuat dan melebarkan jalan-jalan, membangun jembatan dan prasarana lainnya. Meskipun demikian, musibah demi musibah terus saja terjadi, seperti pada musim haji 2015 ini yang baru saja kita lewati dan penyebabnya selalu karena berdesak-desakan ketika melempar jumrah. Karena itu, selain upaya di atas apakah tidak ada solusi lain yang perlu ditempuh untuk menangani persoalan ini?

Solusi

Salah satu solusi yang sudah pernah ditawarkan oleh banyak pihak agar penyelenggara haji membolehkan pelemparan jumrah sebelum tergelincir matahari perlu mendapat perhatian secara serius dari berbagai pihak, bukan saja dari penyelenggara haji, dalam hal ini pemerintah Arab Saudi, tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait, termasuk para jamaah haji sendiri. Yang terjadi sekarang adalah, para jamaah sering memaksa diri untuk melaksanakan pelemparan jumrah pada waktu-waktu sebagaimana yang dipilih oleh Nabi untuk melempar jumrah, tanpa sama sekali mempertimbangkan situasi dan kondisi bahaya yang dapat mengancam jiwa mereka. Misalnya untuk melempar jumrah ‘Aqabah dilakukan pada pagi hari dan jumrah-jumrah yang lainnya setelah tergelincir matahari, yang oleh para ulama dinamakan sebagai waktu-waktu yang afdhal. Coba kita bayangkan sekiranya jamaah haji yang jumlahnya lebih kurang 3.000.000-an orang setiap tahun semua mereka memilih melakukan jumrah pada waktu yang bersamaan (waktu afdhal) bukankah ini terkesan seperti berencana untuk membunuh diri?

Memang menurut sunnah, Nabi melakukan pelemparan jumrah pada waktu-waktu sebagaimana tersebut di atas seperti disebutkan dalam hadits riwayat jama’ah yang bersumber dari Jabir bin Abdullah r.a ia mengatakan: “Rasulullah SAW melempar jumrah (al-‘Aqabah) pada pagi hari nahr dan yang lainnya (jumrah al-Wusta dan  al-Sughra) setelah tergelincir matahari.” (Al-Shawkānī: Nayl al-Awthar, Juz 5, hlm. 70). Akan tetapi, menurut imam Nawawi waktu-waktu sebagaimana tersebut dalam hadits di atas adalah waktu-waktu yang istihbab atau sunat. Dipahami demikian, karena hadits di atas beliau masukkan dalam pembahasan “Bab Bayani Waqt Istihbab al-Ramyi” yaitu bab tentang penjelasan waktu yang disunatkan untuk melempar jumrah. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz IX, hlm. 48).

Setelah diadakan pengkajian ternyata pendapat seperti ini juga sebagaimana ditegaskan oleh imam Nawawi sendiri merupakan pendapat dua orang ahli fikih di kalangan tabi’in, yaitu  ‘Atha`dan Thawus,  yang masing-masing berasal dari Mekah dan Yaman. Selain itu pendapat yang sama juga telah dikemukakan oleh imam mujtahid kenamaan Abu Hanifah dan Ishaq bin Rahawaih, hanya saja menurut mereka kebolehkan pelemparan jumrah sebelum tergelincir matahari terbatas pada hari ketiga dari hari-hari tasyrik, yakni bagi jamaah haji yang memilih nafar tsani. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz IX, hlm. 48).

Barangkali karena alasan inilah Yusuf al-Qaradāwī, seorang ulama kontemporer asal Mesir berpendapat, bahwa pelemparan jumrah bisa saja dimajukan  sebelum tergelincir matahari, terutama dalam situasi dan kondisi seperti zaman sekarang yang jumlah para jama’ah haji sudah sangat terlalu banyak, terutama untuk menghindari  terjadinya musibah dan kecelakaan yang menimpa para jama’ah haji. Ia mengatakan bahwa melempar jumrah setelah tergelincir matahari memang bagian dari sunnah Nabi SAW. Akan tetapi, beliau tidak pernah melarang melempar jumrah tersebut  sebelum tergelincir matahari. Ia selanjutnya mengatakan bahwa kita hendaknya memperluas waktu melempar jumrah sebagaimana yang telah diajarkan oleh syari’at. Hal ini kita jadikan alternatif, demikian al-Qaradhāwī, karena kita tidak mungkin lagi memperluas tempat pelemparan jumrah yang memang sangat sempit. Sedangkan dalam pelemparannya harus dilakukan dari jarak dekat, agar kerikil dapat jatuh di tempat lemparan dan tidak menimpa dan menyakiti orang lain yang di depannya. Dari tahun ke tahun jamaah haji semakin banyak, sedangkan tempatnya terbatas, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan memperluas dan memperpanjang waktunya untuk melempar jumrah, yaitu  mulai pagi sampai malam hari. (Al-Qaradāwī, Fatawa Mu’asirah, Juz III, hlm. 268).

Adapun perintah Nabi kepada Ibn Abbas agar tidak melempar jumrah kecuali setelah terbit matahari, menurut Ibn Hajar juga sunat, bukan suatu kemestian (Ibn Hajar, Fath al-Bārī : III, hlm. 529). Dengan demikian, meninggalkan yang “sunat” dan “waktu yang lebih utama ini” adalah dibolehkan dan tidak dikenakan apa-apa. Apalagi ketika berhadapan dengan kondisi yang sulit dan dapat mengancam jiwa manusia. Bahkan menurut imam Raghib al-Asfahani secara tegas mengatakan tidak sepantasnya seseorang mengejar yang afdhal atau amalan sunat kecuali setelah mengerjakan sesuatu yang pokok, karena yang wajib adalah amalan yang pokok, sedangkan amalan yang afdhal adalah tambahan terhadap yang pokok. (Imam Raghib al-Asfahani, Al-Zari’ah Ila Makarim al-Syari’ah, hlm. 85). Ini artinya dalam kondisi yang berdesakan hendaklah memilih waktu-waktu yang sah saja untuk melempar jumrah, tidak perlu memaksa diri untuk memilih waktu-waktu yang lebih baik, walaupun jumhur ulama seperti disebutkan imam Nawawi mungkin pada zaman dahulu jamaah haji tidak terlalu banyak seperti sekarang  tetap menuntut waktu pelaksanaan jumrah sesuai menurut yang dilakukan oleh Nabi. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz IX, hlm. 48). Tuntutan seperti ini boleh jadi karena jumlah jamaah haji pada zaman dahulu tidak sebanyak sekarang.

Menurut al-Qaradawi, kebolehan melempar jumrah sebelum tergelincir matahari diikuti oleh sebagian ulama mutaakhkhirin, termasuk ahli fikih Syafi’iyyah, Hanabilah dan Malikiyah. Selanjutnya, ia mengatakan: “Mereka saat itu tidak melihat situasi desak-desakan sebagaimana yang terjadi sekarang, bagaimana kalau mereka menyaksikan apa yang kita saksikan sekarang.”(Al-Qaradawi, Fatawa Mu’ashirah, Juz III, hlm. 268)    

Dengan berpegang kepada berbagai pendapat di atas, sudah selayaknya pihak penyelenggara ibadah haji memperluas waktu pelemparan jumrah sejak pagi hingga malam hari. Selanjutnya, dalam bimbingan manasik haji hendaknya pihak penyelenggara memberikan penjelasan yang detail kepada jamaah calon haji tentang masalah ini, tidak cuma menekankan pada afdaliyah, hal yang lebih afdal dalam pelaksanaan haji dan keutamaan melakukan ini dan itu, misalnya keutamaan waktu melempar jumrah, tanpa penjelasan yang memadai tentang kondisi dan situasi riil di tanah suci pada saat haji itu. Dalam konteks ini sangat layak dipertimbangkan apa yang dikatakan oleh imam al-Raghib al-Asfahani bahwa orang yang menyibukkan diri dengan perbuatan fardhu, sehingga meninggalkan yang afdhal (utama) maka ia dimaafkan. Sedangkan orang yang menyibukkan diri dengan perbuatan yang afdhal (utama), sehingga meninggalkan yang fardhu maka ia tertipu. (Imam Raghib al-Asfahani, Al-Zari’ah Ila Makarim al-Syari’ah, hlm. 85). Dengan demikian para jamaah haji tidak akan tergiur lagi dengan afdhaliah yang resikonya membahayakan jiwa, tetapi hanya membatasi pada amalan-amalan pokok yang sah, tetapi dapat mengurangi ancaman jiwa.  Wallahu ‘A’lam bi al-Shawab.