Khutbah Jumat 2 Oktober 2015:
Oleh:
Tarmizi M. Jakfar
Tragedi musibah Mina telah terjadi
berulang kali pada musim haji dan telah banyak merenggut jiwa para manasik haji
yang sedang beribadah di tanah haram itu. Peristiwa tersebut telah meresahkan ummat Islam di seantero dunia, khususnya mereka yang sedang dan bermaksud
akan menunaikan ibadah haji pada masa-masa yang akan datang. Musibah demi
musibah seolah merupakan takdir yang harus diterima begitu saja, tanpa perlu
mencari jalan keluarnya. Begitulah kesan yang dapat kita tangkap ketika
media menyiarkan tanggapan beberapa
pihak tentang tragedi tersebut.
Sebagai pihak penyelenggara, apakah
pemerintah Arab Saudi atau Departemen Agama untuk warga negara Indonesia,
seharusnya tidak cukup menyerahkan persoalan ini kepada takdir semata, atau
mengatakan sebagai resiko ibadah. Sebaliknya, mereka harus mencari solusi agar
musibah yang kerap kali terjadi itu tidak terulang lagi pada masa-masa
mendatang. Masih segar dalam ingatan kita korban pada musim haji tahun 1990
yang merenggut tidak kurang dari 1.426 nyawa manusia karena berdesakan di
terowongan Mina. Kemudian terulang lagi pada tahun 1994 menelan korban 270
orang, pada tahun 1998 korban 119 orang, lalu pada tahun 2001 sebanyak 35 orang
dan pada tahun 2003 sebanyak 14 orang, tahun 2004 berjumlah 251 orang dan pada
pelaksanaan haji tahun 2015 ini yang terenggut nyawa sekitar 700 jiwa lebih sementara yang luka-luka sekitar 800 jiwa.
Kini memang, seperti media juga
melaporkan, Kerajaan Arab Saudi telah
membangun jembatan Jamarat atau semacam jalur bertingkat empat untuk memudahkan
jamaah melontar jumrah. Selain itu juga dibangun terowongan bawah tanah yang
mengarah ke Jamarat, khusus bagi pejalan kaki. Bahkan, untuk lebih memastikan keamanan jamaah, pihak Direktur Urusan Haji
Kementerian Dalam Negeri Kerajaan Arab
Saudi memberlakukan sistem buka tutup untuk arus jamaah dalam pelaksanaan
lempar jamarat, dimana ketika satu kelompok masuk, maka kelompok lain tidak
boleh masuk sebelum kelompok lain selesai melempar. Namun perlu diingat, usaha
ke arah perbaikan ini pernah pula dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya,
seperti perluasan Masjidil Haram, penggalian terowongan, membuat dan melebarkan
jalan-jalan, membangun jembatan dan prasarana lainnya. Meskipun demikian,
musibah demi musibah terus saja terjadi, seperti pada
musim haji 2015 ini yang baru saja kita lewati dan penyebabnya selalu karena
berdesak-desakan ketika melempar jumrah. Karena itu, selain upaya di atas
apakah tidak ada solusi lain yang perlu ditempuh untuk menangani persoalan ini?
Solusi
Salah satu solusi yang sudah pernah
ditawarkan oleh banyak pihak agar penyelenggara haji membolehkan pelemparan
jumrah sebelum tergelincir matahari perlu mendapat perhatian secara serius dari
berbagai pihak, bukan saja dari penyelenggara haji, dalam hal ini pemerintah
Arab Saudi, tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait,
termasuk para jamaah haji sendiri. Yang terjadi sekarang adalah, para jamaah sering memaksa diri untuk melaksanakan pelemparan jumrah pada
waktu-waktu sebagaimana yang dipilih oleh Nabi untuk melempar jumrah, tanpa
sama sekali mempertimbangkan situasi dan kondisi bahaya yang dapat mengancam
jiwa mereka. Misalnya untuk melempar jumrah ‘Aqabah dilakukan pada pagi hari
dan jumrah-jumrah yang lainnya setelah tergelincir matahari, yang oleh para
ulama dinamakan sebagai waktu-waktu yang afdhal. Coba kita bayangkan
sekiranya jamaah haji yang jumlahnya lebih kurang 3.000.000-an orang setiap
tahun semua mereka memilih melakukan jumrah pada waktu yang bersamaan (waktu
afdhal) bukankah ini terkesan seperti berencana untuk membunuh diri?
Memang menurut sunnah, Nabi melakukan pelemparan
jumrah pada waktu-waktu sebagaimana tersebut di atas seperti disebutkan dalam
hadits riwayat jama’ah yang bersumber dari Jabir bin
Abdullah r.a ia mengatakan: “Rasulullah SAW melempar jumrah (al-‘Aqabah) pada pagi hari nahr dan yang
lainnya (jumrah al-Wusta dan al-Sughra)
setelah tergelincir matahari.” (Al-Shawkānī: Nayl al-Awthar, Juz 5, hlm.
70). Akan tetapi, menurut imam Nawawi waktu-waktu sebagaimana tersebut dalam
hadits di atas adalah waktu-waktu yang istihbab
atau sunat. Dipahami demikian, karena hadits di atas beliau masukkan dalam pembahasan “Bab Bayani Waqt Istihbab
al-Ramyi” yaitu bab tentang penjelasan waktu yang disunatkan untuk melempar
jumrah. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz IX, hlm. 48).
Setelah diadakan pengkajian ternyata
pendapat seperti ini juga sebagaimana ditegaskan oleh imam Nawawi sendiri merupakan
pendapat dua orang ahli fikih di kalangan tabi’in, yaitu ‘Atha`dan Thawus,
yang masing-masing berasal dari Mekah dan Yaman. Selain itu pendapat
yang sama juga telah dikemukakan oleh imam mujtahid kenamaan Abu Hanifah dan
Ishaq bin Rahawaih, hanya saja menurut mereka kebolehkan pelemparan jumrah sebelum tergelincir matahari terbatas pada hari ketiga
dari hari-hari tasyrik, yakni bagi jamaah haji yang memilih nafar tsani.
(Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz IX, hlm. 48).
Barangkali karena alasan inilah Yusuf al-Qaradāwī, seorang
ulama kontemporer asal Mesir berpendapat, bahwa pelemparan jumrah bisa saja dimajukan sebelum tergelincir matahari, terutama dalam
situasi dan kondisi seperti zaman sekarang yang jumlah para jama’ah haji sudah
sangat terlalu banyak, terutama untuk menghindari terjadinya musibah dan kecelakaan yang
menimpa para jama’ah haji. Ia mengatakan bahwa melempar jumrah setelah
tergelincir matahari memang bagian dari sunnah Nabi SAW. Akan tetapi,
beliau tidak pernah melarang melempar jumrah tersebut sebelum tergelincir matahari. Ia selanjutnya
mengatakan bahwa kita hendaknya memperluas waktu melempar jumrah sebagaimana
yang telah diajarkan oleh syari’at. Hal ini kita jadikan alternatif, demikian
al-Qaradhāwī, karena kita tidak mungkin lagi memperluas tempat
pelemparan jumrah yang memang sangat sempit. Sedangkan dalam pelemparannya
harus dilakukan dari jarak dekat, agar kerikil dapat jatuh di tempat lemparan
dan tidak menimpa dan menyakiti orang lain yang di depannya. Dari tahun ke
tahun jamaah haji semakin banyak, sedangkan tempatnya terbatas, maka tidak ada
jalan lain kecuali dengan memperluas dan memperpanjang waktunya untuk melempar
jumrah, yaitu mulai pagi sampai malam
hari. (Al-Qaradāwī, Fatawa Mu’asirah, Juz III, hlm. 268).
Adapun perintah Nabi kepada Ibn Abbas agar
tidak melempar jumrah kecuali setelah terbit matahari, menurut Ibn Hajar juga sunat,
bukan suatu kemestian (Ibn Hajar, Fath al-Bārī : III, hlm. 529). Dengan
demikian, meninggalkan yang “sunat” dan “waktu yang lebih utama ini” adalah
dibolehkan dan tidak dikenakan apa-apa. Apalagi ketika berhadapan dengan
kondisi yang sulit dan dapat mengancam jiwa manusia. Bahkan menurut imam Raghib
al-Asfahani secara tegas mengatakan tidak sepantasnya seseorang mengejar yang
afdhal atau amalan sunat kecuali setelah mengerjakan sesuatu yang pokok,
karena yang wajib adalah amalan yang pokok, sedangkan amalan yang afdhal adalah
tambahan terhadap yang pokok. (Imam Raghib al-Asfahani, Al-Zari’ah Ila
Makarim al-Syari’ah, hlm. 85). Ini artinya dalam kondisi yang berdesakan
hendaklah memilih waktu-waktu yang sah saja untuk melempar jumrah, tidak perlu
memaksa diri untuk memilih waktu-waktu yang lebih baik, walaupun jumhur ulama
seperti disebutkan imam Nawawi mungkin pada zaman dahulu jamaah haji tidak
terlalu banyak seperti sekarang tetap
menuntut waktu pelaksanaan jumrah sesuai menurut yang dilakukan oleh Nabi.
(Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz IX, hlm. 48). Tuntutan seperti
ini boleh jadi karena jumlah jamaah haji pada zaman dahulu tidak sebanyak
sekarang.
Menurut al-Qaradawi, kebolehan melempar jumrah sebelum
tergelincir matahari diikuti oleh sebagian ulama mutaakhkhirin, termasuk ahli
fikih Syafi’iyyah, Hanabilah dan Malikiyah. Selanjutnya, ia mengatakan: “Mereka
saat itu tidak melihat situasi desak-desakan sebagaimana yang terjadi sekarang,
bagaimana kalau mereka menyaksikan apa yang kita saksikan sekarang.”(Al-Qaradawi, Fatawa Mu’ashirah, Juz III, hlm. 268)
Dengan berpegang kepada berbagai pendapat di atas, sudah
selayaknya pihak penyelenggara ibadah haji memperluas waktu pelemparan jumrah
sejak pagi hingga malam hari. Selanjutnya, dalam bimbingan manasik haji
hendaknya pihak penyelenggara memberikan penjelasan yang detail kepada jamaah
calon haji tentang masalah ini, tidak cuma menekankan pada afdaliyah,
hal yang lebih afdal dalam pelaksanaan haji dan keutamaan melakukan ini
dan itu, misalnya keutamaan waktu melempar jumrah, tanpa penjelasan yang
memadai tentang kondisi dan situasi riil di tanah suci pada saat haji itu.
Dalam konteks ini sangat layak dipertimbangkan apa yang dikatakan oleh imam
al-Raghib al-Asfahani bahwa orang yang menyibukkan diri dengan perbuatan fardhu, sehingga
meninggalkan yang afdhal (utama) maka ia dimaafkan. Sedangkan orang yang
menyibukkan diri dengan perbuatan yang afdhal (utama), sehingga
meninggalkan yang fardhu maka ia tertipu. (Imam Raghib al-Asfahani, Al-Zari’ah
Ila Makarim al-Syari’ah, hlm. 85). Dengan demikian para jamaah haji tidak
akan tergiur lagi dengan afdhaliah yang resikonya membahayakan jiwa,
tetapi hanya membatasi pada amalan-amalan pokok yang sah, tetapi dapat
mengurangi ancaman jiwa. Wallahu
‘A’lam bi al-Shawab.