Apakah zakat boleh disalurkan dalam bentuk pinjaman? Dr HM Yusuf Siddik MA,
Dewan Syariah LAZNAS BSM Jakarta memulai menjawab pertanyaan ini dengan
mengutip firman Allah Swt, “Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanya untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil, orang-orang yang diikat hati
mereka (muallaf), untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”. (QS Attaubah: 60).
Dalam ayat tersebut, terdapat 8 asnaf yang berhak atas dana zakat yaitu: Faqir, Miskin, Amil, Muallaf, Firriqab (hamba sahaya yangngin memerdekakan dirinya), Gharimin (orang yang berhutang), Fi Sabilillah (Jihad dan kegiatan di jalan Allah), Ibnu Sabil (yang kehabisan ongkos, atau tertimpa bencana).
Alquran dan hadis, katanya, tidak menyebutkan secara rinci dan detail tentang sistem atau cara penyaluran zakat. Hanya saja ulama mencoba mengambil istinbath dari sejumlah nash (teks) Alquran dan hadis tentang cara tersebut.
Dia menjelaskan, dari sejumlah literature klasik, hampir tidak ditemukan pembahasan tentang penyaluran zakat dengan cara meminjamkan atau Al Qardhul Hasan. Namun hal tersebut tidak serta merta menunjukkan tidak boleh.
Walaupun Alquran saat menyebutkan asnaf yang berhak menerima zakat, menggunakan huruf laam yang berarti littamlik (untuk kepemilikan), namun dalam ilmu Fikih, kepemilikan tidak selamanya berarti tamlikul ‘ain (kepemilikan benda), namun juga dalam bentuk tamliikul manfa’ah (kepemilikan manfaat).
Yusuf Siddik menguraikan, sejumlah ulama kontemporer membolehkan penyaluran zakat dalam bentuk pinjaman atau Al Qordhul Hasan. Mereka antara lain: Syekh Abu Zahrah, Khallaf, Hasan Khan, Dr Muhammad Humaidullah Al Haidar Abadi, Dr Syauqi Ismail Syihatah, Dr Yusuf Qardhawi dan sejumlah ulama lainnya. Dalil mereka adalah Qiyas, atau Qiyas Jali.
Qiyas Jali dinamakan juga dengan Qiyas min Babi Aula, yaitu menganalogikan hukum yang belum ada dalilnya secara tekstual dengan hukum yang sudah ada dalilnya dari Alquran atau Sunah atau Ijma’, di mana hukum yang belum ada dalilnya justru lebih utama atau lebih kuat dibandingkan hukum yang sudah ada dalilnya.
Contohnya, Alquran tidak melarang memukul orangtua, namun Alquran melarang mengatakan kepada orangtua dengan kata ah, bukan berarti memukul dibolehkan, melainkan memukul justru lebih dilarang atau diharamkan. Karena jika mengatakan ah saja tidak boleh, apalagi memukul.
Demikian juga dalam konteks penyaluran zakat melalui sistem pinjaman (Al Qardhul Hasan). Jika seandainya orang miskin boleh diberikan cuma-cuma dana zakat untuk mengangkat statusnya dari mustahiq menjadi muzakki, maka jika tujuan terebut dapat tercapai hanya dengan memberikan pinjaman maka itu jelas lebih dibolehkan.
Jika dana zakat dapat diberikan kepada satu orang, maka jika dana yang sama dapat dimanfaatkan oleh lebih dari satu orang lebih dibolehkan. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Makanan dua orang (lebih baik) jika mencukupi tiga orang, dan makanan 3 orang (lebih baik) jika mencukupi empat orang”. (HR Turmudzi, menurutnya hadits itu adalah Hasan Shohih).
Dalam riwayat Ibnu Umar dan Jabir, ada tambahan “Makanan empat orang (lebih baik) jika mencukupi delapan orang”. (HR Turmudzi, Kitab Ath’imah (makanan), bab makanan satu orang cukup untuk dua orang, jilid 4 hal. 235-236).
Dr Syauqi Ismail Syihatah, Anggota Dewan Syariah Internasional untuk Zakat,dalam bukunya “Tandzim wa Muhaaabatuz Zakaah fit Tathbiiqil Mu’aashir” (Manajemen Zakat Modern) menyebutkan:
“Bahwa jika seorang yang berhutang (Gharimin) boleh diberikan dana zakat untuk membayarkan hutangnya kepada lembaga (perbankan) lain, maka jika ia diberikan pinjaman dari dana zakat lebih dibolehkan untuk diberikan, mengingat uang pinjaman tersebut, akan kembali lagi ke lembaga zakat”. (hal 297).
Menurut Yusuf Siddik , menyalurkan dana zakat melalui pinjaman tanpa bunga (Al Qardhul Hasan) membantu dalam proses penerapan sistem pinjaman non ribawi yang diinginkan Islam. Hal ini tentunya dapat dikatagorikan dalam asnaf Fi Sabilillah yaitu upaya menjaga dan melestarikan ajaran Islam di kalangan umat Islam.
Namun yang dibolehkan menerapkan system pinjaman ini hanyalah lembaga zakat. Muzakki tidak dibenarkan meminjamkan zakat yang harus ia keluarkan. Karena kewajibannya adalah mengeluarkan zakat tersebut dan menyerahkannya kepada lembaga zakat. Sementara lembaga zakat, dibolehkan menyalurkan dana zakat tersebut dengan sistem pinjaman dengan syarat:
Pertama, dana zakat yang dipinjamkan tersebut bukan untuk kebutuhan konsumsi (istihlaki), seperti menutupi kebutuhan pangan, biaya pengobatan dan biaya sekolah, melainkan untuk investasi atau modal usaha yang diharapkan akan memberikan keuntungan dan memotivasi si peminjam untuk mendapat keuntungan yang sebanyak mungkin agar mampu mengembalikan pinjamannnya.
Kedua, jika si peminjam ternyata tidak mampu melunasi pinjamannya, maka yang bersangkutan harus dibebaskan dari kewajibannya mengembalikan pinjaman tersebut. (Sayed M. Husen)
Sumber: http://ramadan.sindonews.com
Dalam ayat tersebut, terdapat 8 asnaf yang berhak atas dana zakat yaitu: Faqir, Miskin, Amil, Muallaf, Firriqab (hamba sahaya yangngin memerdekakan dirinya), Gharimin (orang yang berhutang), Fi Sabilillah (Jihad dan kegiatan di jalan Allah), Ibnu Sabil (yang kehabisan ongkos, atau tertimpa bencana).
Alquran dan hadis, katanya, tidak menyebutkan secara rinci dan detail tentang sistem atau cara penyaluran zakat. Hanya saja ulama mencoba mengambil istinbath dari sejumlah nash (teks) Alquran dan hadis tentang cara tersebut.
Dia menjelaskan, dari sejumlah literature klasik, hampir tidak ditemukan pembahasan tentang penyaluran zakat dengan cara meminjamkan atau Al Qardhul Hasan. Namun hal tersebut tidak serta merta menunjukkan tidak boleh.
Walaupun Alquran saat menyebutkan asnaf yang berhak menerima zakat, menggunakan huruf laam yang berarti littamlik (untuk kepemilikan), namun dalam ilmu Fikih, kepemilikan tidak selamanya berarti tamlikul ‘ain (kepemilikan benda), namun juga dalam bentuk tamliikul manfa’ah (kepemilikan manfaat).
Yusuf Siddik menguraikan, sejumlah ulama kontemporer membolehkan penyaluran zakat dalam bentuk pinjaman atau Al Qordhul Hasan. Mereka antara lain: Syekh Abu Zahrah, Khallaf, Hasan Khan, Dr Muhammad Humaidullah Al Haidar Abadi, Dr Syauqi Ismail Syihatah, Dr Yusuf Qardhawi dan sejumlah ulama lainnya. Dalil mereka adalah Qiyas, atau Qiyas Jali.
Qiyas Jali dinamakan juga dengan Qiyas min Babi Aula, yaitu menganalogikan hukum yang belum ada dalilnya secara tekstual dengan hukum yang sudah ada dalilnya dari Alquran atau Sunah atau Ijma’, di mana hukum yang belum ada dalilnya justru lebih utama atau lebih kuat dibandingkan hukum yang sudah ada dalilnya.
Contohnya, Alquran tidak melarang memukul orangtua, namun Alquran melarang mengatakan kepada orangtua dengan kata ah, bukan berarti memukul dibolehkan, melainkan memukul justru lebih dilarang atau diharamkan. Karena jika mengatakan ah saja tidak boleh, apalagi memukul.
Demikian juga dalam konteks penyaluran zakat melalui sistem pinjaman (Al Qardhul Hasan). Jika seandainya orang miskin boleh diberikan cuma-cuma dana zakat untuk mengangkat statusnya dari mustahiq menjadi muzakki, maka jika tujuan terebut dapat tercapai hanya dengan memberikan pinjaman maka itu jelas lebih dibolehkan.
Jika dana zakat dapat diberikan kepada satu orang, maka jika dana yang sama dapat dimanfaatkan oleh lebih dari satu orang lebih dibolehkan. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Makanan dua orang (lebih baik) jika mencukupi tiga orang, dan makanan 3 orang (lebih baik) jika mencukupi empat orang”. (HR Turmudzi, menurutnya hadits itu adalah Hasan Shohih).
Dalam riwayat Ibnu Umar dan Jabir, ada tambahan “Makanan empat orang (lebih baik) jika mencukupi delapan orang”. (HR Turmudzi, Kitab Ath’imah (makanan), bab makanan satu orang cukup untuk dua orang, jilid 4 hal. 235-236).
Dr Syauqi Ismail Syihatah, Anggota Dewan Syariah Internasional untuk Zakat,dalam bukunya “Tandzim wa Muhaaabatuz Zakaah fit Tathbiiqil Mu’aashir” (Manajemen Zakat Modern) menyebutkan:
“Bahwa jika seorang yang berhutang (Gharimin) boleh diberikan dana zakat untuk membayarkan hutangnya kepada lembaga (perbankan) lain, maka jika ia diberikan pinjaman dari dana zakat lebih dibolehkan untuk diberikan, mengingat uang pinjaman tersebut, akan kembali lagi ke lembaga zakat”. (hal 297).
Menurut Yusuf Siddik , menyalurkan dana zakat melalui pinjaman tanpa bunga (Al Qardhul Hasan) membantu dalam proses penerapan sistem pinjaman non ribawi yang diinginkan Islam. Hal ini tentunya dapat dikatagorikan dalam asnaf Fi Sabilillah yaitu upaya menjaga dan melestarikan ajaran Islam di kalangan umat Islam.
Namun yang dibolehkan menerapkan system pinjaman ini hanyalah lembaga zakat. Muzakki tidak dibenarkan meminjamkan zakat yang harus ia keluarkan. Karena kewajibannya adalah mengeluarkan zakat tersebut dan menyerahkannya kepada lembaga zakat. Sementara lembaga zakat, dibolehkan menyalurkan dana zakat tersebut dengan sistem pinjaman dengan syarat:
Pertama, dana zakat yang dipinjamkan tersebut bukan untuk kebutuhan konsumsi (istihlaki), seperti menutupi kebutuhan pangan, biaya pengobatan dan biaya sekolah, melainkan untuk investasi atau modal usaha yang diharapkan akan memberikan keuntungan dan memotivasi si peminjam untuk mendapat keuntungan yang sebanyak mungkin agar mampu mengembalikan pinjamannnya.
Kedua, jika si peminjam ternyata tidak mampu melunasi pinjamannya, maka yang bersangkutan harus dibebaskan dari kewajibannya mengembalikan pinjaman tersebut. (Sayed M. Husen)
Sumber: http://ramadan.sindonews.com