Prof Dr Hamka
mengatakan, sekiranya kaum Muslimin telah sadar akan guna zakat sebagai salah
satu tiang (rukun) Islam dan dipungut serta dibagikan dengan teratur, kita
percaya dengan zakat akan bisa membangun Islam yang mulia, Islam yang layak
sebagai anutan dari satu bangsa yang merdeka.
Dalam Tafsir Al-Azhar Juzu’ X, surat Al-Anfal ayat 41-75 dan surat At-Taubah
ayat 1-93, Hamka membahas masalah zakat. Hamka mengajak umat Islam menengok
kembali cita-cita dua pemimpin besar umat Islam Indonesia, KH Ahmad Dahlan
(pendiri Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pemimpin Sarekat Islam) dalam hal
menggerakkan zakat dengan terorganisir secara modern, dikumpulkan dan dibagikan
sesuai mustahiknya.
Menurut Hamka,
sekiranya kaum
Muslimin telah sadar akan guna zakat sebagai salah satu tiang (rukun) Islam dan
dipungut serta dibagikan dengan teratur, kita percaya dengan zakat akan bisa
membangun Islam yang mulia, Islam yang layak sebagai anutan dari satu bangsa yang
merdeka. Padahal jumlah itu tidak banyak hanya sekedar dua setengah persen. Dan
kitapun telah mulai melihat di tanah air kita timbulnya kesadaran itu dengan
berangsur-angsur. Mudah-mudahan kita menjadi umat yang sadar.
Sesuai ayat 60 surat At-Taubah bahwa pengeluaran zakat dihadapkan untuk dua
keperluan. Pertama, keperluan umum, Kedua, untuk kepentingan perseorangan.
“Sabilillah” dan kemerdekaan budak (Riqab) keduanya adalah untuk kemaslahatan
umum. Kata “Sabilillah” mengandung daerah yang luas sekali. Kemerdekaan budak
pun bukan untuk kepentingan pribadi budak yang dimerdekakan itu saja, tetapi
membersihkan masyarakat dari adanya manusia yang dipandang rendah.
Adapun kepentingan fakir dan miskin, amil (orang yang bertanggung jawab
mengurus zakat), orang yang ditarik hatinya, orang-orang yang berhutang, dan
orang yang tengah musafir dalam perjalanan, adalah untuk kepentingan pribadi
orang yang dibantu itu sendiri, karena ukhuwah atau persaudaraan yang
ditanamkan oleh Islam kepada umatnya. Tetapi memberi zakat kepada fakir miskin
pun boleh diartikan mengandung kedua maksud di atas tadi, yaitu untuk
kepentingan pribadi orang yang dibantu, dan membersihkan masyarakat umum dari
kemelaratan dan kemiskinan, sebagai tujuan dari satu masyarakat yang adil dan
makmur.
Menurut Hamka, “fakir miskin” yang berhak menerima zakat adalah yang masih
beragama Islam. Yang murtad dari Islam atau mempunyai ideologi tidak percaya
kepada Tuhan (Komunis dan Atheis) tidak berhak menerima zakat. Sedangkan orang
Yahudi dan Nasrani yang taat memegang agama mereka, tetapi miskin, kalau yang
empunya zakat menimbang patut diberi, bolehlah mereka diberi sesudah
mendahulukan fakir miskin di kalangan Islam sendiri.
Hamka menulis, Al Quran satu kali pernah memberi kita pedoman untuk
menentukan bahwa orang miskin itu juga ada yang mempunyai usaha. Ayat 79 surat
Al Kahfi menerangkan jawaban hamba Allah yang diberi Rahmat dan Ilmu oleh
Tuhan, yang menurut setengah ahli tafsir bernama Nabi Khidir. Ketika dia menjawab
kepada Nabi Musa apa sebab perahu itu dilobangi, dia mengatakan bahwa perahu
itu ialah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di lautan, sedang raja di
negeri itu suka merampok perahu orang yang dipandangnya bagus.
Sebuah Hadits Rasulullah dapat juga memberi kita pedoman tentang arti
miskin,
“Berkata
Rasulullah Saw: Bukanlah orang miskin itu dengan berkeliling-keliling,
meminta-minta kepada manusia, lalu ditolak akan dia oleh satu suap dua suap
atau satu butir dua butir kurma. Lalu orang bertanya: Kalau begitu apa yang
miskin itu, ya Rasul Allah” Beliau menjawab: Ialah orang yang tidak mempunyai
orang kaya buat membantunya, dan orang lain tidak mengerti akan nasibnya supaya
orang bersedekah kepadanya, dan dia pun tidak pernah meminta-minta kepada orang
lain.” (HR Bukhari dan Muslim)
Gharimin menurut Hamka adalah orang yang berhutang dan sudah sangat
terdesak, sedangkan dia tidak sanggup membayarnya, bolehlah melaporkan nasibnya
kepada penguasa yang membagikan zakat, agar hutang itu dibayarkan dengan zakat.
Pemerintah atau dalam hal ini amil wajib membayarkan hutang tersebut setelah
melakukan penelitian dengan seksama.
Seorang sahabat Rasulullah Saw bernama Qubaishah bin Mukhariq dari Bani
Hilal datang kepada Rasulullah menyatakan nasibnya, berhutang tetapi sudah lama
dia berusaha belum juga dapat terbayar. Maka bersabdalah Rasulullah,
“Tunggulah, sampai datang zakat, akan kami suruhkan memberikan untuk engkau.”
Hadits yang dinukil Hamka dalam Tafsir Al-Azhar memberi pelajaran terkait tugas
amil yang semestinya mengantarkan zakat itu kepada orang yang berhak dan bukan
mustahik yang bolak-balik meminta dan menanyakan zakat kepada amil.
Adapun orang-orang yang dalam perjalanan, kata Hamka, sependapat para ulama
bahwa orang yang terputus hubungannya dengan kampung halamannya karena suatu
perjalanan, berhak menerima zakat. Meskipun dia seorang yang kaya di negerinya,
namun dalam musafir adalah dia miskin. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat
menganjurkan supaya orang musafir untuk menambah pengetahuan, pengalaman,
persahabatan dan perbandingan. Syaikh Taher Jalaluddin, ulama besar dan salah
satu pelopor pembaharuan Islam asal Minangkabau yang bermukim di Singapura
berfatwa, “Seorang kaya di negerinya, tetapi dia fakir dalam perjalanan, maka dia
berhak diberi bantuan belanja dengan zakat.”
Kata Hamka, di beberapa negeri besar di India, baik sebelum berpisah menjadi
dua negara (India dan Pakistan) dan sesudahnya, ditemukan rumah-rumah yang
bernama “Musafir Khanah”, yaitu tempat bermalam bagi orang-orang Muslim yang
tengah musafir.
Menurut Hamka, beratus tahun cara kita berfikir telah mundur, dan fikiran
tentang zakat telah membeku. Hamka memberi contoh, bila kesadaran umat Islam
Indonesia tentang mengatur, mengumpul dan membagikan zakat telah berjalan
dengan lancar, banyaklah usaha dan amal maslahat umum yang dapat dibangun, dari
satu pos yang bernama “Sabilillah” itu. Dengan pos “Sabilillah” kita dapat
membangun masjid-masjid, rumah-rumah sakit, membelanjai Mubaligh Islam untuk
menyebarkan Islam kepada warga negara Indonesia yang belum beragama atau
memberi pengertian umat Islam yang “buta agama” tentang ajaran agamanya, atau
memberi beasiswa (studiesfonds), dan membelanjai pemuda-pemuda Islam yang
berbakat untuk menambah ilmu pengetahuan, supaya layak menjadi bangsa yang
duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa yang lain. (
Sayed Husen/M Fuad Nasar/BAZNAS)