Oleh Sri Hidayanti
Kehidupan ini sangat dinamis. Dunia penuh ketidakpastian.
Banyak hal berubah begitu cepat. Keadaan seperti ini harus dihadapi dengan
inovasi. Ya, inovasi menjadi satu keniscayaan dalam setiap segi kehidupan. Baik
dalam masalah pekerjaan, bisnis, kehidupan keluarga juga tak luput dari
sentuhan inovasi, agar tak terlalu menjemukan dan mengancam kebahagiaan.
Dalam berbisnis, saya tergolong sangat awam dan masih
taraf coba-coba. Warung sembako saya ternyata tak semulus yang saya harapkan. Saya pun memutar otak
agar pelanggan tak lari. Mulailah saya menerapkan diskon sampai bonus setiap
kali belanja di atas R 50 ribu dapat gratis sabun cuci piring.
Dalam pekerjaan, di Baitul Mal Aceh Tamiang yang saya
pimpin, jika tidak mampu melahirkan program inovatif dan tepat sasaran, niscaya
bakal kehilangan kepercayaan dari
masyarakat, maka wajib hukumnya para pengelola memiliki budaya inovasi.
Bagaimana caranya?
Dimulai dari diri amil itu sendiri. Harusnya setiap amil
menyadari bahwa tugasnya adalah sebagai agen perubahan dan pemberdaya di tengah-tengah
masyarakat. Dialah yang mampu mentransformasikan
masyarakat yang sebelumnya lemah menjadi
masyarakat yang mandiri.
Makanya diciptakan berbagai program yang tepat, agar masyarakt
miskin cepat bangkit dari kemiskinannya. Apakah program yang selama ini diterapkan
sudah benar. Dibuatlah perencanaan ulang, diorganisasikan, dilaksanakan,
kemudian evaluasi ulang. Dimana kekuatan dan kelemahannya.
Ciptakan inovasi-inovasi agar efektif dan efisien. Saya
memimpikan amil yang inovatif dan kreatif dan tidak hanya menunggu perintah atasan. Ya, itulah
harapan. Ini baru tahap harapan saya
sebagai pimpinan. Lalu, bagaimana dengan realitasnya?
Saya terdiam sejenak. Ternyata budaya inovasi ini belum
merasuk pada kebanyakan amil. Masih
banyak amil yang bekerja tanpa disertai
motivasi yang kuat untuk menciptakan inovasi. Banyak amil yang bekerja tanpa
dorongan spiritual yang kuat, keyakinan bahwa bekerja adalah ibadah, penghapus
dosa yang tidak bisa digantikan dengan shalat, pusa dan lainnya.
Lalu, apa yang harus saya lakukan? Berdiskusi dengan
senior yang lebih pengalaman tentunya. Saya bertanya pada para senior yang
pengalaman dan manajemennya lebih baik. Saya pun berdiskusi dengan amil junior yang pikirannya belum terkontaminasi, guna
mencari masukan dan cara pandang baru
bagi kemajuan di masa akan datang.
Saya khawatir jika kemalasan menciptakan inovasi berakibat
fatal, yang akhirya berdampak pada
kemunduran Baitul Mal Aceh Tamiang. Semoga saja tidak demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar